MENUNGGU
Pria yang rumit,
Aku dan kamu dari dulu saling menunggu.
Sekarang pun begitu.
Di situ, kamu masih juga menunggu, untuk mengisi malam Natal bersamaku.
Di sini, aku juga menunggumu, untuk bermalam Natal di Manhattan. Jauh dari Negri kita....
Kita bisa mulai jalan jam sepuluh malam. Kerlap-kerlip lampu hias di pohon-pohon membuatmu tak bisa berhenti bercerita tentang percikan bijaksana Anthony de Mello, atau tentang kekuatan hipnotis Guido Orefice kepada Dora dalam La Vita e Bella yang kita kenal sebagai Life is Beautiful, atau tentang Si Peziarah dalam Merahnya Merah Iwan Simatupang. Sembari melemparkan senyum kepada pepohonan, atau kepada batu-batu di pinggir jalan, kamu menggandeng tanganku, karena inilah untuk pertama kalinya kita akan menghabiskan malam Natal di New York.
Aku akan tersenyum melihat tanganmu mengulurkan satu sen kepada gelandangan dari pinggir kota New York, yang mencari peruntungan di pusaran kota. Aku tahu, "hatimu seputih bajumu." Karena kamu sangat menyukai warna putih, baju, tas, sepatu semua putih bersih. Beberapa kali kamu menganalogi warna putih itu bersih dan penuh ketulusan....heeemmmm....kekasihku...
Beberapa kali kuingatkan, supaya tidak terlalu baik hati menyapa orang di kota New York. Tetapi kamu bandel, sebab kekasihku ini adalah yang semakin nekat kalau semakin dilarang. Akibatnya, orang-orang pada heran melihatmu, dan beberapa bertanya, "Are you alright, Miss?" Untuk menjaga suasana hatimu yang lagi happy, aku pun memeluk kegilaanmu...dan malam ini kita gila bersama di tengah-tengah kota New York...nun jauh dari negeri kita
Bersama senandung Glorian yang mengalun di atap gotik gereja St. Ignatius di Park Avenue, turunlah salju dari langit. Salju pertama untukmu. Kulihat kamu berlutut di gereja; setitik air mata meminta haknya untuk sebentar mengaliri pipimu...aku tidak tahu apa kata hatimu, yang kutahu hatimu lembut dan mudah tersentuh, terharu lalu bulir-bulir air mata akan mengalir.
Jam dua belas malam, gereja membunyikan loncengnya.
Lonceng kota New York menerobos lorong-lorong dan halte-halte jalanan, lonceng kota New York mengetuk pintu-pintu yang setahun dua terlalu dikunci rapat, lonceng kota New York menembus hati seorang gadis yang duduk menunggu di kursi salju menatap salju yang turun satu...satu...kulihat senyummu mengembang dan dadaku tiba-tiba berbunga...
Ketika kau tapakkan kaki di trotoar dekat Columbus Circle, wajahmu merunduk menatap batu-batu sambil membisu. Tiba-tiba kau hentikan langkahmu, dan kau berpaling menatapku, "Masih ingatkah kau padaku?" tanyamu. Apa yang bisa kukatakan selain memelukmu, karena aku pun sebahasa dengan kata hatimu? Bahwa aku tak akan bisa melupakanmu...tak kan pernah....
Kurasa kamu tahu, aku pun menunggumu.
Lama sebelum kita lahir, Samuel Beckett telah menulis Menunggu Godot dimana Vladimir dan Estragon menunggu Godot di tepi jalan, di bawah pohon yang sudah tidak berdaun.
Mereka tidak tahu Godot itu seperti apa. Gambar di imaginasi pun, mereka tak punya. Tapi mereka tetap menunggu. Menunggu lima puluh tahun lamanya. Seorang anak kecil datang kepada mereka, dan mengatakan bahwa Godot hanya akan datang esok hari.
Sia-siakah menunggu Godot yang tidak pernah mereka tahu? Dan ketika harinya tiba pada mereka hanya dikatakan tentang Godot yang hanya akan datang esok hari...esoknya lagi...esoknya lagi...?
Ada orang yang mengusulkan kepada mereka untuk bunuh diri saja, sehingga mereka bisa terbebas dari kejamnya menunggu.
Ada orang yang meminta mereka pergi saja, dan melakukan hal yang lainnya.
Tetapi Vladimir berkata, "Tidak tanpa alasan aku menunggu. Kami sudah berjanji untuk bertemu, dan oleh karenanya aku menunggu."
Apakah Vladimir dan Estragon menunggu karena kalau sudah bertemu, Godot akan memberikan hidup yang indah pada mereka?
"Nothing......" kata mereka.
Semata, mereka menunggu karena sudah saling berjanji untuk bertemu.
Sebuah tragedi, tetapi juga sebuah kebesaran hati menatap seribu ketidak mungkinan....Dan aku selalu menahan diriku, menahan diri itu memiliki getarannya sendiri sayang....dan kau tahu itu.
Come away with me in the night,
come a away with me and I would write you a song....
Kusibakkan rambut dari keningmu, kukecup keningmu sekilas, lembut dan dingin... tapi matamu yang hangat dan penuh cinta, mata berbinar bintang dan aku selalu merindunya, sangat.
Lagu ini untukmu, lagu dengan bait penantian panjang yang melelahkan, dan aku bagai rajawali malam yang tak pernah lelah untuk mengelana melintas dunia...kamu masih menunggu, menunggu seperti Vladimir dan Estragon yang tak pernah tahu buat apa menungguku....sampai sayapku patah? Sampai aku berhenti terbang? Entah...kurasakan tanganmu mempererat genggamannya, meremasnya lembut seperti memberi kekuatan yang tak kasat mata, tapi entah juga untuk apa. Seperti berkata padaku, ”aku tahu isi hatimu”.
Salju terantuk di bulu matamu ketika bibirmu menciumku.
Manhattan masih terbangun...lonceng dari menara sebuah rumah tua menunjuk pada jam tiga.
Di pintu kamar apartemen tuaku ada tertulis, "Merry Christmas."
Desah nafasmu memulas malam.
Di lantai tiga, Broadway Avenue, 25 Desember 2008.
Jauh di seberang jalan, seorang musisi mengalunkan biola...
Tidurlah sayang, kan kucium tubuhmu sebelum manjadi bayang samar yang siap memudar. Menunggu bagiku tak ada yang sia-sia karena aku tahu pasti isi hatimu, dan engkau selalu berada di tempat yang istimewa dihatiku
Selamat malam kekasihku…
Wanita yang simple,
Aku dan kamu dari dulu saling menunggu.
Sekarang pun begitu.
Malam Natal tahun ini akhirnya kulalui juga bersamamu. Merengkuh kegilaan bersamamu? Aku tak tahu menyebutnya, tapi aku akan melakukannya....saat kuberikan satu sen uangku pada gelandangan dipinggir jalan, senyummu tersungging, kamu memang mengenalku sayang...you know me so well. Tak peduli tatap tanya orang-orang yang melintas.
Kita sama-sama memasuki gereja St. Ignatius di park Avenue. Kita duduk pada deretan bangku ke tiga dari depan altar.
Wangi setanggi sudah tercium....Silent Night menggema dari suara choir. Hening dan syahdu....Entah apa yang membuat tiba-tiba hatiku tergetar dan tak terasa air mataku tak bisa kutahan untuk keluar.
Kulirik engkau duduk diam dan merunduk disampingku, entah kali ini aku tak tahu apa yang ada dalam hatimu. Aku pun merasa asing dengan diriku, sampai kulintasi samudra hanya ingin merebahkan kepalaku didada kekarmu dan telah menempuh berlaksa beban dan tempaan hidup. Sungguh kali ini aku tak dapat lagi menunggu untuk menghabiskan malam Natal ini bersamamu, ditempat yang jauh dari negeri kita.
Harum setanggi kembali menyusup hidungku...mungkin aku benar-benar mabuk sehingga setiap sel di tubuhku ini seperti dialiri rasa kepayang yang tidak bisa aku lukiskan, seperti pelangi ada merah, kuning, hijau dan jingga beria-ria....
Aku tak pernah berpikir rumit sepertimu dan bagiku menunggu itu bukan lagi seperti siksaan, tetapi kenikmatan tanpa ujung. Pikiranmu telah ditempa dengan ilmu-ilmu filsafat dan sastra-sastra barat yang berat membuatku tiba-tiba menghentikan langkah dan bertanya, Masih ingatkah kau padaku?” ingat dalam arti selalu menyimpan hatiku disudut hatimu dan selalu mengenang senyumku dalam tiap langkahmu. Kamu tak menjawab dan hanya memelukku erat. Itu jawabmu? Cukup sudah....
Mendiami kubah kecil pada satu sudut bumi,
menjadi besar oleh alam semesta,
dilahirkan dari panas dingin percaturan kutub-kutub berlawanan,
berjalanlah aku memasuki kesepian.
Bertemu dengan kesepian,
kuhadapi jati diri.
Berbicara dalam kesendirian,
tergambarlah raut wajahku.
Seraut wajah ini, hasil goresan mantra nenek moyangku,
diukup dan didupa, didoa dan dibasuh air mata,
bertahun-tahun di benam pada inti panasnya api,
ditidurkan pada kepulan bara di gunung es,
berharap sebuah metamorfosa,
yang tak pernah sia-sia meski menunggu tanpa hilang asa….
Caramu menyibakkan rambutku masih sama seperti tujuh tahun yang lalu saat kita menghabiskan malam disebuah kota kecil istimewa di central java….kaukecup keningku sekilas dan kutemukan binar cinta dimatamu yang selalu kurindu. Kuremas tanganmu dan kau pasti tahu artinya.
Kekasihku, aku sudah datang pada malammu, malam Natal yang istimewa bagi kita….
Kau menulis lagu untukku, lagu cinta yang tak pernah usang.
Aku tahu kau tak akan pernah lelah menantiku, ditemani malam-malam panjang sendiri dan dingin dengan buku-buku sastra dan secangkir kopi hangat.
Salju terantuk di bulu mataku ketika bibirku mencari bibirmu dan menciumnya lembut...
Manhattan masih terbangun...lonceng dari menara sebuah rumah tua menunjuk pada jam tiga.
Di pintu kamar apartemenmu ada tertulis, "Merry Christmas."
Di lantai tiga, Broadway Avenue, 25 Desember 2008.
Jauh di seberang jalan, seorang musisi mengalunkan biola...
Aku tertidur dalam dekapanmu, dan kau tuangkan rindu dengan menciumi tubuhku….
Segera kututup laptopku. Dan aku kemba li ke kamar tidurku yang dingin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H