Pacu Jalur adalah Pesta Rakyat kebanggan Masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi. Sejarah Pacu Jalur berawal abad ke-17, di mana jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan CerentiKecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Akibatnya jalur itu benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40-60 orang. Kemudian muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri).
Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. Baru pada 100 tahun kemudian, warga melihat sisi lain yang membuat keberadaan jalur itu menjadi semakin menarik, yakni dengan digelarnya acara lomba adu kecepatan antar jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pacu Jalur.
Pada awalnya, pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam. Namun, seiring perkembangan zaman, akhirnya Pacu Jalur diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu Pacu Jalur diadakan sekitar bulan Agustus. Dapat digambarkan saat hari berlangsungnya Pacu Jalur, kota Jalur bagaikan lautan manusia. Terjadi kemacetan lalu lintas di mana-mana, dan masyarakat yang ada diperantauan akan terlihat lagi, mereka akan kembali hanya untuk menyaksikan acara ini. Biasanya jalur yang mengikuti perlombaan, bisa mencapai lebih dari 100. Menurut masyarakat setempat jalur adalah 'perahu besar' terbuat dari kayu bulat tanpa sambungan dengan kapasitas 45-60 orang pendayung (anak pacu). Perlombaan yang konon sudah ada sejak tahun 1903 ini menjadi agenda tetap Pemerintah Provinsi Riau untuk menarik wisatawan nusantara maupun mancanegara untuk berkunjung ke Riau, khususnya di Kabupaten Kuantan Singingi.
Pada masa penjajahan Belanda pacu jalur diadakan untuk memeriahkan perayaan adat, kenduri rakyat dan untuk memperingati hari kelahiran ratu Belanda wihelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus. Kegiatan pacu jalur pada zaman Belanda di mulai pada tanggal 31 agustus s/d 1 atau 2 september. Perayaan pacu jalur tersebut dilombakan selama 2-3 hari, tergantung pada jumlah jalur yang ikut pacu.
Kini warna warni kostum dan dentum suara meriam penanda mulai lomba, serta teriakan pemberi semangat menjadi daya tari budaya local asli Kuantan Singingi Riau yang pantas dinanti dan dinikmati. Tradisi pacu jalur yang diadakan sekali setahun ini pada awalnya dimaksudkan sebagai acara memperingati hari-hari besar umat Islam, seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, ataupun peringatan tahun baru Hijriah. Pada Masa penjajahan Belanda festival ini pernah dijadikan salah satu kegiatan dalam memperingati hari lahir Ratu Wihelmina (Ratu Belanda) yang biasanya jatuh bulan November. Namun setelah kemerdekaan Indonesia, perlombaan ini dijadikan icon pertandingan dalam merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Perlu diketahui bahwa selain sebagai event olahraga yang banyak menyedot perhatian masyarakat, tradisi pacu jalur juga melibatkan hal-hal yang berbau magis. Festival pacu jalur dalam wujudnya memang merupakan hasil budaya dan karya seni khas yang merupakan perpaduan antara unsur olahraga, seni, dan olah batin. Namun, masyarakat sekitar sangat percaya bahwa yang banyak menentukan kemenangan dalam perlombaan ini adalah olah batin dari pawang perahu atau dukun perahu di samping kekuatan otot pendayungnya. Biasanya sebelum pacu jalur dimulai diawali dengan upacara sakral dan magis oleh Pawang jalur. Bila diamati banyak hal yang unik dan menarik yang terdapat pada sebuah jalur dan pada pacu jalur ini, seperti ada patuo, dukun jalur, anak jalur. Adapun yang dimaksud dengan patuo jalur ini adalah orang yang dituakan, dipercaya atau mungkin tepatnya pada masa sekarang manager, yang bertugas mencari, memilih dan menentukan kayu jalur, menentukan tukang dan tenaga bantuan dari masyarakat, menentukan dukun jalur, mengadakan rapat-rapat tentang jalur, mengatur kepentingan tukang jalur selama bekerja di hutan dan penyelesaian pekerjaan lainnya, mengurus kepentingan anak jalur, mengurus kepentingan dukun jalur dalam upacara jalur .
Budaya pacu jalur di Kabupaten Kuantan Singingi perlu diketahui bahwa selain sebagai event olahraga yang banyak menyedot perhatian masyarakat, maka akan terdapat pula kebiasankebiasan yang berbeda dalam pelaksaannya di setiap daerah (Aslati, 2014: 15). Festival pacu jalur dalam wujudnya memang merupakan hasil dari karya seni khas yang merupakan perpaduan antara unsur olahraga, seni, dan olah batin. Nilai budaya yang terkandung dalam pacu jalur adalah: kerja keras, ketangkasan, keuletan, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar jalurnya dapat mendahului jalur regu lain. Dalam kehidupan sosial masyarakat Kuantan Singingi jalur merupakan wujud kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun. Bagi masyarakat Rantau Kuantan jalur memiliki makna tersendiri, baik bagi diri pribadi maupun sebagai warga kampung. Jadi, tidak sempurna suatu kampung tidak mempunyai jalur. Jalur merupakan hasil karya budaya yang memiliki nilai keindahan tersendiri, dan juga mencakup kreativitas dan imaginasi. Hal ini terlihat dengan jelas dari beberapa seni budaya yang terdapat di jalur, seperti seni ukir, seni tari, seni musik, dan seni sastra. Oleh karena itu bahwa jalur dapat dikatakan upaya masyarakat Rantau Kuantan masa lalu untuk memenuhi kebutuhan manusia akan rasa keindahan.Â
Sehubung dengan panjang dan besarnya sebuah jalur sehingga membutuhkan sejumlah orang dalam pembuatannya, maka karena itulah jalur tidak mungkin milik pribadi, atau beberapa orang saja, tetapi merupakan suatu benda budaya yang hanya mungkin diwujudkan dengan melibatkan seluruh anggota masyarakat disuatu desa. Sebagian besar masyarakat Kuantan Singingi masi percaya disamping tenaga fisik dalam pembuatan jalur juga diperlukan keterlibatkan unsur spiritual yang sudah muncul pada awal proses perencanaan dan proses pembuatan jalur sampai jalur tersebut ikut bertanding di sungai Batang Kuantan tiap tahunnya dan berkat kerjasama dan tenaga yang kuat serta kesungguhan dari masyarakat serta kehendak dari Yang Maha Kuasa, sebab tanpa partisipasi hal atau unsur tersebut, jalur tidak akan dapan mencul sebagai wujud karya maryarakat yang memuaskan dalam arti utuh dalam segala aspek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H