Analisis terhadap data emisi sebelum dan sesudah implementasi perjanjian dapat memberikan gambaran megenai efektivitasnya.
Perubahan iklim berdampak signifikan terhadap berbagai aspek haj asasi manusia, termasuk ha katas kehidupan, kesehatan, dan tempat tinggal, beberapa dampak yang perlu diperhatikam meliputi:
1.Pengungsian dan Migrasi: bencana alam yang diakibatkan oleh perubahan iklim dapat memaksa masyarakat untuk mengungsi, yang berpotensi melanggar hak0hak mereka.
2.Kesehatan: Perubahan iklim dapat memperburuk kualitas udara dan air, meningkatkan risiko penyakit, serta mengancam ketahanan pangan, yang semuanya berdampak pada hak atas kesehatan.
3.Keadilan sosial: Komunitas rentan seperti masyarakat adat, sering kali menjadi yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim, sehingga memerlukan perhatian khusus dalam kenijakan dan hukum.
Hukum internasional, melalui instrumen seperti konvensi Hak anak dan konvensi pengungsian, dapat diadaptasi untuk mengatasi isu-isu ini, selain itu pengakuan terhadap ha katas lingkungan yang sehat dalam beberapa dokumen internasional kemajuan dalam menanggapi dampak perubahan iklim terhadap hak asasi manusia.
Dampak-dampak perubahan iklim diantisipasi akan mengarah pada mobilitas manusia dan dengan demikian mempertanyakan aturan migrasi dan pemindahan. Pergerakan yang disebabkan oleh iklim tersebut dapat bersifat internal, dalam negara yang sama, atau lintas batas. Kerangka hukum untuk perlindungan orang-orang yang mengungsi secara internal tercantum dalam prinsip-prinsip panduan tentang pengungsian internal (GPID) tahun 1998 meskipun tidak mengikat, diterapkan secara luas uraiannya tentang orang-orang yang mengungsi secara internal dapat mencangkup mereka yang mengungsi karena dampak iklim. Terkait dengan pemindahan lintas batas, tidak ada kerangka hukum internasional tunggal untuk perlindungan mereka yang mengungsi melintasi batas negara karena alasan yang berhubungan dengan iklim. Pemindahan yang disebabkan oleh iklim tidak tercakup dalam definisi 'pengungsian' berdasarkan konvensi pengungsian tahun 1951 atau direnungkan oleh para penduduk kepulauan pasifik di Australia dan selandia baru yang sejauh ini tidak berhasil berdasarkan dampak iklim menggambarkan rintangan dalam penggunaan konvensi pengungsian untuk mengatasi perpindahan yang disebabkan olek iklim, akan tetapi pengadilan selandia baru tidak mengesampingkan penerapan konvensi pengungsi, dan lebih menganjurkan pendekapan kasus per kasus. Beberapa inisiatif di tingkat internasional, seperti Deklarasi New York 2016 dan keputusan COP yang menyertai perjanjian paris, mencakup komitmen dan pemerintahan untuk mengatasi faktor pendorong pergerakan berskala besar dan mengembangkan rekomendasi untuk pendekatan terpadu guna mengatasi perpindahan yang terkait dengan dampak buruk perubahan iklim.
Terkait dengan pemindahan yang di sebabkan oleh iklim, situasi pulau-pulau yang tenggelam akibat perubahan iklim menimbulkan pertanyaan hukum dan teknis yang rumit dan membebani batas-batas tradisional hukum internasional. Gagasan tentang kenegaraan di bawah hukum internasional umum dalam konvesi Montevideo tentang hak dan kewajiban negara dapat ditentang oleh perubahan territorial yang disebabkan oleh kenaikan muka air laut. Meskipun ada aturan yang berkaitan dengan pembentukan negara, tidak ada aturan yang berkaitan dengan penghentianya dalam kasus penghilangan fisik, meskipun ada prospek seluruh populasi negara-negara lain. Namun perjanjian yang berkaitan dengan keadaan tanpa warganegaraan-konvensi 1954 tentang status orang-orang tanpa kewarganegaraan tidak mungkin berguna bagi penduduk pulau-pulau yang tenggelam karena perjanjian tersebut ditujukan untuk mengatasi situasi wilayah yang telah hilang atau tidak dapat dihuni dan tidak diratifikasi secara universal.
Peraturan Presiden No.61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
 Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dari scenario pembangunan Business as usual(BAU) pada tahun 2020 dengan dana sendiri tanpa mengorbankan pembangunan di sector lain, atau 41 persen jika mendapatkan bantuan internasional. Pemerintah akan melakukan ini sejalan dengan upaya memacu pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun. Untuk wemujudkan komitmen ini pemerintahan telah mengeluarkan peraturan presiden No.61 tahun 2011 tentang rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca (perpres RAN-GRK) dan peraturan presiden No. 71 tahun 2011 tentang penyelenggara inventarisasi GRK nasional bertujuan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dan 42 persen(dengan bantuan asing) pada tahun 2020. Hal ini pula menjadi pedoman bagi kementrian/Lembaga untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi penurunan emisi gas rumah kaca GRK. Adapun lima sector utama target dan strategi penurunan emisi gas rumah kaca adalah pertanian,kehutanan dan lahan gambut, energi, dan transportasi, industry dan pengelolaan limbah.
E. PENUTUP