Mohon tunggu...
Vina Oktavia
Vina Oktavia Mohon Tunggu... Lainnya - Woman

Woman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pesan dari Ki Hajar Dewantara

25 Juli 2013   22:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:02 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ki Hajar Dewantara menemukan taman siswa karena ia sadar Indonesia memiliki jutaan tanaman. Anak-anak dapat belajar bersama di bawah pohon, di halaman rumput, bahkan di persimpangan gang. Disana, mereka belajar mengeja dari alam. Mereka dilatih berinteraksi dengan lingkungan. Belajar dan bermain bersama teman sebayanya. Lalu, saat teknologi datang, kita mulai menciptakan sekat dan dinding. Anak-anak diajarkan untuk membaca dan menulis menggunakan handphone, komputer, atau gadget. Kini, mereka tak lagi tertarik bersentuhan dengan lingkunganya.

Rasanya, teknologi yang kita anggap sebagai sarana mencerdaskan anak justru menciptakan sekat baru. Kita lebih sering melihat anak-anak belajar bersama gadget kesayangannya. Kebiasaan itu tanpa sadar mengubah anak-anak menjadi robot. Terkadang, kata “pancasila” bahkan lebih sering dieja dengan sikap seperti robot. Tanpa pemaknaan. Kehadiran teman juga menjadi hal yang biasa saja. Ketika bertemu pun, masing-masing asyik dengan mainan digenggamannya.

Perubahan ini mungkin menjadi hal yang wajar bagi beberapa orang. Terkadang, justru dianggap sebagai kemajuan bagi dunia pendidikan. Anak-anak dinilai lebih modern dan menguasai teknologi. Namun, rasanya pemikiran itu tak selalu tepat. Ada bahaya yang sejenak harus kita pikirkan, yaitu matinya rasa kepekaan anak dengan lingkunganya. Anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang sangat individual. Mereka menganggap fasilitas super canggih bisa menjadi apa saja yang mereka inginkan. Guru tak lagi menjadi sosok penting karena sudah ada mesin pencari google yang bisa menjawab apa saja. Mereka juga merasa tak perlu bertanya dengan orang tua atau teman dekatnya. Jika sudah begitu, anak akan sulit menangkap pesan dari lingkungan disekitarnya.

Pergeseran pola pikir anak juga menjadi hal penting lainnya yang ikut terpengaruh. Hal-hal praktis dan instan yang mereka dapatkan mengubah pola pikir anak. Mereka tak lagi memaknai dan menghargaiproses. Akibatnya, saat menemukan kesulitan, anak akan mudah putus asa. Sebagian memilih menyerah dan sebagian lagi memilih jalan yang lebih praktis. Pribadi-pribadi ini tentu bukan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ki Hajar Dewantara saat mendirikan taman siswa.

Kita mungkin perlu mengembalikan anak-anak kepada taman siswa. Konsep belajar yang melatih anak untuk melihat hal-hal kecil yang ada disekitarnya. Taman yang melatih anak untuk menghargai keluarga, teman, dan lingkunganya. Bapak pendidikan itu mengkin ingin menyampaikan pesan mengenai pemaknaaan belajar kepada kita. Belajar yang sejatinya adalah pemaknaan terhadap proses belajar itu sendiri. Dan hasil dari proses itu menjadikan kita sebagai pribadi yang ramah pada lingkungan. Ramah pada apapun yang ada diluar pribadi kita. Sayangnya, Ki Hajar Dewantara menyampaikannya secara tersirat hingga generasi saat ini tak mampu melihatnya. Atau malah sengaja tak menoleh. Entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun