Berbicara tentang sampah rasanya tak pernah ada habisnya. Masalah ini sepertinya dialami bukan hanya oleh satu atau dua daerah saja, melainkan melibatkan banyak daerah bahkan lintas negara. Mari kita buktikan sendiri, dalam hitungan 1 detik saya meminta anda untuk mencari sampah di sekeliling, apakah anda menemukannya. Jawabannya bisa iya dan tidak, namun saya yakin anda sudah menemukannya.
Dalam tingkatan yang paling kecil, sampah yang kita temui bisa saja hanya berupa remah-remah makanan atau robekan kertas, namun dalam skala menengah hingga besar sampah-sampah tersebut berkumpul menjadi satu tumpukan yang sulit diatasi. Tumpukan itu menjadi sumber penyakit, ancaman bencana hingga menimbulkan polusi yang tidak main-main.
Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab mengatasi masalah ini. Apakah kita harus menjadikan satu pihak sebagai tumpuan harapan dalam mengatasi ini semua. Lalu, siapakah pihak itu dan mengapa hanya satu pihak saja yang harus bertanggung atas masalah persampaha yang terjadi di Indonesia.
Dari aspek perilaku dan pola pikir, masalah sampah ini bisa jadi disebabkan oleh kebiasaan kita pada waktu kecil. Mungkin dari dulu kita semua diajarkan untuk membuang sampah pada tempatnya (tong sampah). Atas dasar itu, ahirnya kita tidak diajarkan untuk bertanggung jawab atas berbagai sampah yang kita hasilkan, baik itu yang termasuk dalam kategori organik dan sampah non-organik.
Meskipun bertujuan baik, nyatanya moto tersebut sudah berhasil mengumpulkan sampah yang tidak terolah. Secara kasat mata, sampah yang ada di sekeliling kita mungkin sirna dalam sekejap. Tapi siapa sangka, ternyata sampah itu hanya berpindah tempat dan menunggu teman lainnya berkumpul di TPA. Disinilah masalahnya bermula, bayangkan jika kebiasaan ini terus terjadi. Akan ada berapa banyak lahan yang dijadikan sebagai tempat penimpanan sampah yang terus bertambah luasnya.
Untuk mengurangi timbulan sampah, nampaknya bukan hanya aspek hilir saja yang diperbaiki, melainkan aspek hulu. Dari aspek hilir, pemerintah perlu bekerjasama dengan pihak swasta untuk menciptakan inovasi yang dapat mengubah sampah menjadi energi atau produk serba guna. Dari aspek hulu, yang perlu didukung adalah gaya hidup berkelanjutan.
Gaya hidup berkelanjutan atau sustainability life style adalah pola pikir yang diaplikasikan menjadi gaya hidup. Konsep ini berupaya untuk meminimalkan segala jenis sumber daya yang digunakan agar sumber daya itu dapat terus digunakan sehingga dapat meminimalisir produksi sampah.
Selain meminimalkan pemakaian barang, gaya hidup ini juga berorientasi pada tujuan pembangunan berkelanjutan, yang secara prinsip meiliki 17 tujuan. Bagaimana setiap aspek dalam kehidupan dalam selaras dengan tujuan-tujuan tersebut.
Untuk meminimalisir timbulan sampah misalnya, seseorang harus bisa mengelola sampahnya sendiri. Dimulai dari pemisalah sampah organik dan non-organik, mengolah sampah organik menjadi kompos atau pakan ternak, mengolah sampah non-organik menjadi barang serbaguna, mengumpulkan sampah plastik dan mendaur ulangnya dan banyak lagi.
Namun untuk mewujudkannya dibutuhkan niatan dan dukungan yang luar biasa dari berbagai pihak, terutama strategi dalam berbagai pembiasaannya agar menjadi gaya hidup. Oleh karenanyamasalah sampah adalah masalah yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam penyelesaiannya.
Kedepannya, semoga semakin banyak inovasi-inovasi yag ditemukan dalam pengelolaan sampah Supaya, sampah-sampah yang kita hasilkan saat ini tidak berakhir di perut ikan, di sungai, di gunung bahkan di TPA. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H