Mohon tunggu...
Vina Fitrotun Nisa
Vina Fitrotun Nisa Mohon Tunggu... Penulis - partime journalist

Senang bercerita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rebo Wekasan dari Perspektif Masyarakat Modern

24 September 2022   13:27 Diperbarui: 24 September 2022   13:30 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam seusai melaksanakan shalat magrib tiba-tiba hp saya berdering. Saya raih ponsel yang tergeletak di atas meja dan melihat identitas si penelpon. Malam itu Nenek saya yang tinggal berlainan kota menelpon dan memberitahu bahwa hari itu adalah "Rebo Wekasan".

Komunikasi antara Saya dan Nenek memang cukup intens. Biasanya, dalam satu minggu kami saling berkabar satu sama lain sekitar 2-3 kali melalui video call atau telepon biasa. Intensitas komunikasi kami akan meningkat jika salah seorang diantara keluarga kami mengalami masalah atau sakit. Nenek biasanya menjadi orang yang paling khawatir jika anak-anak saya sakit.

Jika ada salah satu warga di kampung yang melahirkan atau meninggal pun biasanya kami akan saling mengirim kabar. Selain berkabar mengenai hal-hal terbaru, kami juga selalu berkabar jika ada momen-momen tertentu yang diperingati oleh warga kampung. Tradisi di sejumlah wilayah di Indonesia memang cukup unik.

Kami sebagai masyarakat sunda, memang menganut beberapa penanggalan. Selain menganut penanggalan masehi, kami juga menganut penanggalan hijriah dan jawa kuno. Berbeda dengan penanggalan matahari yang dikaitkan dengan musim, dalam penanggalan Hijriah dan Jawa pasti ada saja peringatan-peringatan tentang suatu kejadian yang di peringati secara bersama-sama dengan anggota kelompok warga lain.

Dalam bulan mulud misalnya, kami biasanya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan menggelar pengajian di masjid-masjid, atau dalam peringatan tahun baru hijriah, masyarakat di kampung biasanya akan menggelar pawai obor atau lomba memasak liwet. Lain halnya peringatan di kedua bulan tersebut, di rabu terakhir di bulan safar, biasanya kami memperingati hari "Rebo Wekasan".

Berbeda dengan peringatan muludan, rajaban dan tahun baru hijriah. Rebo Wekasan biasanya diperingati dengan memperbanyak memberi kepada sesama. Tambahan peringatan di kampung saya pada hari ini biasanya penduduk diberi secarik kertas yang berisi tulisan arab kemudian kertas tersebut dilarutkan kedalam sebuah bak, kemudian airnya dipakai untuk mandi.

Sebenarnya, belum ada literatur ilmiah yang mengulas secara pasti tentang asal usul dan kebenaran dari Rebo Wekasan. Namun menurut cerita yang berkembang dan di anut oleh masyarakat, pada rabu terakhir di bulan safar ini penyakit dan bala diturunkan kepada ummat manusia.

Terlepas dari kebenaran cerita tersebut, sebagai manusia kita memang harus memiliki kesadaran untuk berhati-hati atau mawas diri terhadap sebuah penyakit. Namun entah secara kebetulan atau tidak, di bulan ini memang  terjadi ketidakpastian cuaca. Sebentar panas lalu hujan dan seterusnya.

Ketidakpastian cuaca menurut sebagian pihak dianggap sebagai salah satu pemicu sakit seperti flu dan batuk, namun menarik sekali menanggapi ritual ini dikaitkan dengan pandangan masyarakat modern.

Masyarakat modern yang terbiasa dengan pemikiran rasional dan konkrit pasti akan bertanya mengenai hubungan antara bersedekah dan menangkal penyakit. Bukan berarti masyarakat modern tidak percaya bagaimana kedua hal tersebut saling berkaitan, namun lebih kepada bagaimana penjelasan tentang sebuah proses ini bisa berimplikasi secara langsung dalam menjaga atau menangkal sebuah penyakit.

Sebagai manusia biasa, semua orang pasti pernah merasakan sakit. Jika sakit yang di alami biasa saja, mungkin hanya dengan istirahat dan makan teratur kita dapat sembuh dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain. Namun kita tak pernah tahu, kadang kita semua diuji dengan sakit yang benar-benar membutuhkan pertolongan orang lain, baik pertolongan dari tenaga medis, keluarga, bahkan tetangga sekitar.

Urgensi bersedekah di hari "Rebo Wekasan" mungkin salah satunya dapat dijelaskan dengan pendekatan bahwa manusia adalah makhluk lemah yang membutuhkan orang lain. oleh karenanya, dengan bersedekah dan berbuat baik kepada tetangga muncul keharmonisan sosial dan sikap silih asah, silih asuh dan silih asih. Sehingga, saat tetangga mengalami sakit, tetangga lain yang sedang sehat dapat membantu dengan bantuan moril ataupun materil.

Hal lain yang dapat dijelaskan tentang kaitan sedekah dengan penolak bala bisa jadi berkaitan dengan amalan hati. Berdasarkan pengalaman sendiri, saat kita membantu meringankan beban atau masalah orang lain memang hati kita terasa bahagia. Ada kepuasan tersendiri yang dirasakan saat kita bisa membantu meringankan masalah orang lain.

Kesehatan jasmani memang sangat berkaitan erat dengan kesehatan rohani. Saat seseorang bersedekah dan merasa bahagia, bisa jadi hal tersebut adalah cara untuk menjaga kesehatan ruhani dan membersihkan diri dari berbagai pikiran-pikiran dan perasangka negatif. Sehingga dengan demikian pikiran positif tetap terjaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun