Mohon tunggu...
Vina Fitrotun Nisa
Vina Fitrotun Nisa Mohon Tunggu... Penulis - partime journalist

Senang bercerita

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bukan Hanya Penindakan, Kolaborasi Kunci Perangi Korupsi

10 Desember 2021   14:31 Diperbarui: 10 Desember 2021   14:32 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai warga negara, Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) rasanya dapat dijadikan momentum tahunan untuk melakukan refleksi, memberikan sumbangsih pemikiran bagaimana cara memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.

Sebelum KPK didirikan, tindak pidana korupsi di tubuh pemerintahan sebenarnya sudah berjalan sistematis. Oleh karena itu, hadirnya lembaga khusus yang ditunjuk untuk memberantas korupsi harusnya dinilai sebagai kemajuan dan optimisme.

Memberantas korupsi nyatanya tak bisa disepelekan begitu saja. Korupsi adalah kejahatan kompleks yang penyebabnya tidak bisa diklaim hanya dari satu faktor.

Salah satu faktor yang dapat menciptakan korupsi adalah adanya kekuasaan. Lord Acton, seorang ilmuwan asal Inggris pernah menyebutkan "power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely".  Sudah lama, sederet kasus korupsi yang ditunjukkan ke permukaan memang berasal dari penguasa. Kekuasaan dan korupsi ibarat dua sisi yang sulit dipisahkan.

Indonesia saat ini memiliki 514 kabupaten dan kota. Untuk membayangkan kompleksitas pemberantasan korupsi, kita dapat menghitung berapa jumlah OPD yang ada di masing-masing daerah, hal yang sama berlaku untuk pemerintah pusat.  

Jika diperhatikan, pendekatan pemberantasan korupsi sendiri saat ini terlihat lebih dominan dari sisi yuridis saja. Asumsi ini dapat diperkuat dengan banyaknya masukan dan wacana yang menitikberatkan pada aspek penanganan saja tanpa diimbangi dengan aspek pencegahan.

Hal ini sebenarnya tidak salah juga, menimbang banyak negara yang memberlakukan hukuman berat dalam menindak koruptor di negaranya. Cina misalnya, menerapkan hukuman mati bagi narapidana korupsi. Meskipun cara ini bisa saja di adopsi di Indonesia, namun efektivitas vonis hukuman mati masih banyak diperdebatkan.

Saat memberikan sambutan dalam Hari Anti Korupsi Sedunia, Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan bahwa jumlah kasus korupsi yang sudah ditangani sejak KPK berdiri adalah sebanyak 1.921 kasus, 22 merupakan Gubernur, 133 kasus Bupati dan Walikota, dan 281 merupakan anggota legislatif.  Penulis menilai kasus korupsi yang ada bisa saja lebih banyak, hanya saja yang lainnya belum di ungkap ke permukaan karena masih diselidiki.

Melihat mudahnya praktik korupsi dilakukan para pejabat publik rasanya menyurutkan harapan terhadap pemekaran daerah-daerah baru yang oleh pemerintah diklaim sebagai menjadi motor pengembangan wilayah. Alih-alih memberikan kesejahteraan dan pemerataan, kehadiran kabupaten atau kota baru justru  membuka peluang baru untuk melakukan korupsi.

Di sisi lain, dari aspek sistem keuangan yang berlaku di Indonesia juga nampaknya masih memudahkan seseorang melakukan korupsi. Disaat bersamaan parlemen sebagai simbol representasi rakyat, kurang atau bahkan tidak menjalankan fungsinya dalam mengawasi kinerja pemerintahan.

Dalam beberapa kasus misalnya terdapat beberapa pemerintah daerah yang bekerja sama dengan oknum anggota DPRD melakukan tindak pidana korupsi. Contohnya pada kasus yang menimpa Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur M Basuki pada tahun 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun