Bagimana memulai budaya demokrasi yang transparan, partisipatif dan kompetitif? Pemilihan pilkada serentak ternyata tetap akan dilaksanakan di akhir tahun 2020 meskipun berbagai pro kontra bermunculan. Penolakan pilkada 2020 berasal dari kalangan yang menghawatirkan prosedur pemilihan dan kemungkinan berkerumunnya pemilih di TPS akan menyebabkan penularan covid 19.
Politik uang pada pilkada serentak tahun ini diduga masih akan terus terjadi, melansir dari Kompas.com anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menyatakan bahwa covid justru meningkatkan kerawanan dalam pemilihan, karena telah membuat pelemahan ekonomi. Kandidat yang diduga berpotensi melakukan politik uang adalah pertahana.Â
Pemberian bantuan kepada masyarakat yang terdampak covid-19 dapat disinyalir bermuatan politik, sekedar informasi, sebanyak 230 pertahana bertarung kembali dari 270 pesertaÂ
Meskipun masih bersifat dugaan namun politik uang dapat menurunkan kualitas demokrasi. Praktik ini dapat menciptakan budaya  buruk di masyarakat seperti meningkatnya mentalitas pragmatis dan transaksional. Disamping itu politik uang dapat mendorong terciptanya perilaku korupsi di kemudian hari. politik uang pun dapat menghalangi kandidat berkualitas dan berintegritas menjadi kepala daerah. Oleh sebab itu politik uang harus dihindari
Namun dalam kenyataanya ternyata politik uang yang dilakukan kandidat kepada pemilih tidak hanya berbentuk uang. pada praktiknya, perantara politik telah bertransformasi menjadi sesuatu yang memiliki nilai seperti pemberian barang, hadiah bahkan janji untuk ditawari sejumlah fasilitas atau jabatan. Dalam istilah akademik Aspinal dan Sukmajati (2016) menyebutnya dengan istilah Patronase dan Klientalisme.
Tantangan tersebut tentunya tidak hanya dapat diselesaikan oleh Bawaslu saja namun harus diperkuat dengan kolabolasi masyarakat. Lalu pertanyaannya bagaimana  peran pengawasan tersebut dapat terwujud ditengah dugaan menguatnya politik uang.Â
Rasanya melibatkan pemuda tak pernah salah dalam pencegahan praktik politik uang sebelum menjadi tindak pidana. melansir dari setkab.go.id Saat ini komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk berusia muda yakni sebanyak 34% atau 83 juta jiwa
Merespon fenomena ini Bawaslu pun telah mengupayakan penguatan pengawasan partisipatif melalui program pendidikan yang bernama SKPP yaitu kepanjangan dari Sekolah Kader Pengawas Partisipatif. Sekolah yang beranggotakan 20.055 peserta ini dilakukan secara online mulai dari awal mei hingga akhir juni. Dapat kita bayangkan. Jika setiap peserta mengajak serta 10 orang pada organisasinya untuk melakukan pengawasan partisipatif, sudah ada 200.000 orang pendamping bawaslu dalam melaksanakan pengawasan.
Di era digital seperti ini, untuk memastikan proses pemilihan berjalan dengan transparan dan bersih. Pengawasan partisipatif perlu diperkuat, karena bisa saja para kandidat melakukan pelanggaran dengan motif yang dinilai baru, namun secara substansi tetap melanggar. Seperti pembagian voucher online, atau uang elektronik. Maka masyarakat dapat langsung melaporkannya jika ada perbuatan tersebut  dinilai melanggar
Dipilihnya pemuda dalam pengawasan partisipatif semata-mata bukan karena yang tua menolak perubahan, namun karena pemuda dianggap sebagai agen pembaharu yang masih memiliki idealisme dan semangat perubahan positif, selain itu pemuda juga dianggap masih memiliki sedikit kepentiangan dibanding yang tua, sehingga keperpihakan pada salah satu pasangan relatif lebih kecil kemungkinannya. namun pada intinya semua elemen masyarakat dapat mengadukan kecurangan dan pelanggaran yang terjadi selama proses pemilihan berlangsung
Saling memberikan pengawasan merupakan kunci dari terlahirnya proses pemilihan yang berkualitas. Selain dengan program pendidikan, partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi dapat dilakukan secara online.Â