Mohon tunggu...
Vina Fitrotun Nisa
Vina Fitrotun Nisa Mohon Tunggu... Penulis - partime journalist

Senang bercerita

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hambatan Perempuan Berpolitik

13 Maret 2020   16:14 Diperbarui: 13 Maret 2020   16:10 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam tahapan  pra pemilihan, calon anggota dewan perempuan kerapkali dihadapkan pada permasalahan internal partai. Sudah bukan rahasia umum partai politik dalam dalam setiap pemilihan lebih cenderung mempertimbangkan kandidat yang memiliki popularitas dan modal finansial yang tinggi. Partai kerapkali enggan mencalonkan kandidat legislatif dari kadernya sendiri. Kemampuan berorganisasi, loyalitas dan keahlian seringkali tidak dijadikan pertimbangan. 

Hanya kandidat-kandidat yang potensi menagnya tinggi lah yang kerapkali diutamakan dalam pemilihan. Dalam hal ini kaitannya dengan kandidat perempuan dapat disimpulkan bahwa kandidat perempuan yang ingin mencalonkan diri setidaknya harus memiliki salah satu diantara dua prasyarat tersebut. Popularitas atau modal finansial.

Sementara itu dalam proses pemilihan, sebelum adanya aturan zipper system meskipun konstituen yang menentukan suara, namun seringkali caleg perempouan ditempatkan pada nomor urut bawah. Sementara itu dalam menghadapi pemilih, caleg perempuan kerapkali diserang dengan isu politik identitas. meskipun isu klasik, namun sedikit banyak, hal ini berpengaruh terhadap preferensi pemilih. 

Meskipun didukung dengan aturan namun respon masyarakat terhadap caleg perempuan kurang bagus, artinya masyarakat secara umum lebih memilih caleg laki-laki. Hal ini sebenarnya membuat politisi perempuan cukup sulit untuk meraih suara.  

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa partai lebih senang merekrut caleg yang potensi menangnya tinggi bukan yang memiliki kapasitas, padahal salah satu cara untuk membenahi birokrasi adalah dengan menghadirkan caleg perempuan yang berkualitas. Sayangnya Parlemen hanya identik dengan perwakilan dan mengabaikan kompetensi. 

Lobi-lobi politik pada saat persidangan pun seringkali telah selesai sebelum dan diluar persidangan. Sehingga proses persidangan hanya dijadikan sebagai formalitas belaka. Belum selesai permasalahan tersebut, masalah lain yang kerapkali disorot adalah lemahnya integritas anggota dewan yang ditunjukkan dengan ketidakhadiran dalam persidangan. Hal ini tentunya merupakan potret yang cukup mengecewakan dari orang-orang yang diharapkan memperjuangkan kepentingan rakyat

Aturan untuk memperketat kualifikasi anggota dewan kerapkali disanggah dengan alasan HAM. Padahal jika standard dan kualifikasi anggota dewan diperketat negara setidaknya tidak perlu banyak terbebani dengan membayar tenaga ahli. Lembaga pembuat kebijakan mau tak mau harus diisi oleh orang yang berkualitas dan berintegritas jika perubahan positif dan akseleratif ingin segera terwujud . lagi-lagi hal tersebut harus diwujudkan dengan membuat kebijakan tentang standar kompetensi calon anggota dewan. Supaya kursi kekuasaan tidak hanya diduduki oleh orang yang memiliki modal materil saja.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun