Indonesia sendiri memiliki banyak ragam budaya suku serta bahasa bahkan disetiap daerah memiliki ciri khas atau karakteristik budaya yang berbeda. Oleh karna itu kita mengambil salah satu budaya lokal asal daerah saya yaitu daerah jember Budaya LARUNG SESAJI  di laut selatan tepatnya dipantai papuma Wuluhan Jember yang diadakan disetiap tahunnya kegiatan ini diselenggarakan dengan penuh antusias warga, ritual-ritual yang diadakan dapat memberi dampak baik serta buruk bagi warga dan lingkungan sekitar. Fenomena ritual Larung Sesaji merupakan bagian dari ritual utama dalam tradisi  masyarakat pesisir pantai Papuma yang dilakukan oleh masyarakat nelayan. Di wilayah pesisir papuma, ritual larung sesaji menjadi momen budaya dalam tradisi ritual Petik raut. Oleh karena itu, kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian. Di kawasan pesisir pantai papuma, khususnya di kawasan jember, kedua istilah tersebut dipahami memiliki arti dan arti yang sama secara bersamaan. Yakni tradisi ritual yang dilakukan masyarakat pesisir/nelayan disetiap tahun, dimaksudkan sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta  yang telah memberikan makanan berlimpah kepada para nelayan berupa hasil panen ikan yang banyak. Rasa syukur ini juga sebagai harapan agar  pada periode atau tahun berikutnya di tahun  nanti akan terjadi peningkatan panen ikan dan hasil panen yang melimpah.
Apalagi jika menyangkut prosesi ritual Larun Sesaji dimana dilakukan dengan didahului acara salat berjamaah yang  dilaksanakan di rumah dan masjid warga . Doa umum biasanya dilakukan dalam bentuk Tarian untuk mengirimkan doa kepada leluhur yang telah meninggal atau dengan acara khatmil Al-Quran. Dilanjutkan dengan peresmian Lalung keesokan harinya. Ritual Larung Sesaji itu sendiri secara khusus dilaksanakan dengan kapal yang disebut 'bitek'. Bitek tersebut memuat atau berisi berbagai sesaji yang harus lengkap,  berupa semua hasil jenis buah-buahan dan juga ayam. Disebut harus lengkap, karena tidak boleh ada satu pun yang kurang.1 Jika tidak lengkap, maka dianggap akan  menyebabkan ada anggota masyarakat yang kesurupan. Sesuai dengan keyakinan  masyarakat setempat, bila ada sajen/ sesaji yang tidak lengkap biasanya ada anggota  masyarakat yang di datangi oleh Nyi Rara Kidul. Nyi Rara Kidul itu menyampaikan pada seseorang yang dipilihnya untuk diberi tahu; agar sesaji itu dilengkapi terlebih dahulu sebelum di larung ke laut. Sebelum itu sesaji diarak mengelilingi desa yang dipimpin oleh kepala desa serta tokoh- tokoh masyarakat yang selanjutya akan dibawa ke laut untuk dilpaskan, Kapal sesaji yang tenggelam akan dicari oleh nelayan yang mengikuti prosesi, dengan mitos bahwa siapa yang pertama menemukan perahu atau isi sesaji itu akan mendapatkan rizki yang melimpah.
Â
Perkembangan pelaksanaan sendiri dari tahun ke tahun larung sesaji papuma semakin mendapatkan antusiasme yang tinggi dari masyarakat. Apalagi dengan dilibatkannya masyarakat dalam prosesi arak-arakan larung sesaji. Seperti karnaval siswa SD, drum band, seni karawitan, dan tari-tarian. Sedangkan untuk sesajen dimasak oleh keluarga yang turun-temurun. Karena menurut kepercayaan masyarakat bahwa jika sesajen dimasak oleh orang yang berbeda, sesajen tidak akan diterima dan akan dikembalikan ke pantai. Strategi pengembangan wisata budaya di Jember, khusus yang berkenaan dengan tradisi Larung Sesaji perlu dilakukan sedemikian rupa. Kemeriahan social dan cultural di lapangan mengandaikan kebutuhan pengelolaan yang efektif agar kemeriahan itu sendiri dapat bernilai produktif untuk masyarakat lokal. Kondisi yang terjadi, baru dapat dinyatakan bahwa proses kultural yang berlangsung itu sebatas pesta tradisi yang bersifat kolosal melibatkan hampir seluruh komponen masyarakat. Sebuah proses kultural yang berlangsung secara alamiah yang belum mendapatkan sentuhan kebijakan yang memadai bagi kontribusi positif untuk masyarakat.Oleh karena itu, proses kultural yang demikian itu perlu dikonstruksi sedemikian rupa, yang melibatkan aspek kebijakan pengembangan budaya yang kontributif untuk kesejahteraan masyarakat. Ritual Larung Sesaji Papuma perlu dikonstruksi sedemikian rupa dalam kerangka pengembangan budaya dan masyarakat lokal; tanpa mendistorsi makna prosesi kultural tradisi Larung Sesaji itu sendiri. Untuk itu, barangkali bukanlah menjadi sesuatu yang mudah dilakukan tanpa perhatian yang sungguh-sungguh dari segenap komponen yang terlibat.
Larung Sesaji di daerah pesisir papuma memiliki peluang tersebut, bila pemerintah memiliki perhatian sungguh-sungguh terhadap potensi lokal tersebut. Kekhasan yang dimiliki dalam tradisi Larung Sesaji Papuma memberikan peluang untuk dipromosikan sedemikian rupa. Di samping itu, tidak kalah pentingnya adalah kesiapan masyarakat lokal, yang sebenarnya bersifat terbuka dan multikultural turut memberikan andil bagi proses pengembangan Larung Sesaji tersebut. Masih minimnya sponsorship yang masuk, menunjukkan bahwa prosesi kultural Larung Sesaji, meskipun meriah dan bersifat kolosal, belum mendatangkan minat bagi industry periklanan. Oleh karena itu, realitas demikian itu membutuhkan perhatian dan kerja yang sungguh-sungguh agar prosesi kultural Larung Sesaji Papuma, tidaklah semata menjadi proses kultural; lebih jauh dari itu, mampu menjadi pemantik dari sisi budaya terhadap perkembangan masyarakat dan ekonomi lokal yang ada.
Dengan demikian, budaya larung sesaji papuma yang ada di pantai papuma Wuluhan Jember ini tidak hanya merupakan kearifan lokal tetapi juga budaya yang harus  kita jaga dan harus kita pertahankan dalam era moderen ini. Dengan upaya menjaga budaya kearifan lokal larung sesaji papuma ini dapat mejaga warisan serta leluhur turun temurun agar tetap terjaga dan terus berkembang dan adanya kemajuan kedepannya. Dikarnakan kita berada dalam negara indonesia menjaga kearifan lokal ini merupakan investasi untuk masa selanjutnya dan generasi yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H