Mohon tunggu...
Vina Damayanti
Vina Damayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sedang menempuh pendidikan S1 Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

[Opini] Media Sosial Wadahi Kontestasi Politik: Demokratis atau Justru Anarkis?

30 Desember 2021   14:08 Diperbarui: 30 Desember 2021   14:12 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Tanpa disadari, kita telah berada di era teknologi serba ada dan serba mudah. Begitu pun dalam berdemokrasi, kita semakin dipermudah dengan adanya teknologi komunikasi berbasis internet bernama media sosial. Dalam bermedia sosial tak sedikit dari masyarakat Indonesia yang masih gagap dalam literasi digital dan mudah sekali terprovokasi oleh berita-berita bohong atau saat ini sering disebut dengan berita hoax. 

Ibarat pisau bermata dua, media sosial memberikan dampak positif apabila bijak dalam penggunaannya dan memberikan dampak negatif apabila tidak tepat ketika menjalankannya. Jika berkaca pada demokrasi politik saat ini, bisa dilihat bahwa banyak dari partai yang akan mencalonkan diri pada Pemilu 2024 lebih memasifkan kampanyenya lewat media sosial. 

Media sosial dianggap sebagai alternatif jitu dalam mencari simpati masyarakat, mulai dari video para anggota legislatif yang diperkirakan akan mencalonkan diri pada Pemilu 2024 mulai beredar di media sosial. Dalam video-video tersebut para anggota legislatif memperlihatkan kedekatannya dengan masyarakat luas.

Hadirnya pandemi Covid-19 menuntut para calon legislatif untuk bergerak secara kreatif dalam membangun personal branding di tengah masyarakat. Dilihat dari pergerakannya, para calon anggota legislatif nampaknya sudah sedikit demi sedikit melakukan kampanye di media sosial. Selain menjadi tempat untuk ajang kampanye, media sosial disinyalir juga menjadi wadah kontestasi politik. Benarkah demikian? 

Apakah media sosial memberikan sumbangsihnya bagi situasi demokrasi digital saat ini? Saat berbagai pihak mulai berkontestasi untuk mendapatkan ruang agar didengar dan masyarakat akan menilai pihak mana yang dianggap terbaik untuk akhirnya menjadi pilihan. 

Pada kenyataannya, media sosial memang memberikan wadah dan sumbangsihnya dalam demokrasi digital pada saat ini. Media sosial menjadi pokok bahasan dalam persoalan ini, ketika media sosial mulai masuk dalam kehidupan demokrasi masyarakat maka akan muncul pertanyaan jauh lebih dalam mengenai efektifkah media sosial untuk mewadahi kontestasi politik di Indonesia? Atau media sosial justru membawa sikap masyarakat berjalan jauh lebih anarkis? 

Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menjawab pertanyaan mengenai kesiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi era digital. Pada saat itu ditemukan 40.000 situs yang mengaku sebagai situs berita, pada nyatanya tidak terdaftar. Bisa dikatakan bahwa pada saat itu merupakan era demokrasi digital terkelam yang pernah dialami Indonesia. Pilpres 2019 juga tidak kalah kelamnya dengan kasus hoax yang menyamai pilkada DKI Jakarta 2017. Hoax bertebaran di tengah masyarakat yang masih sangat minim pengetahuan perihal media sosial. 

Hal tersebut berimbas pada munculnya kegaduhan yang membelah masyarakat karena perbedaan pendapat di negara multikultural ini. Tampaknya sulit membuat masyarakat Indonesia untuk saling menghargai pendapat dan opini antara satu dengan yang lain khususnya dalam masalah politik. Misinformasi yang bermunculan di media sosial juga menjadi alasan kontestasi politik menjadi ajang demokrasi yang anarkis daripada demokratis.

Tak ayal apabila Pemilu 2024 juga diprediksi memicu munculnya berita-berita hoax saat terjadi kontestasi politik. Benturan pendapat dalam masyarakat menjadi hal yang patut diberi perhatian lebih, apalagi di dalam media sosial. Pasalnya ketikan jari masyarakat dirasa berbahaya daripada ucapan pada dunia nyata. Kebanyakan dari masyarakat memberikan pendapat tanpa dasar yang jelas hingga berujung pada ujaran kebencian dan bukan lagi pendapat yang dapat dipertimbangkan. 

Fabrikasi yang dihasilkan dalam media sosial menyebabkan antipati antar kelompok masyarakat dan timbulnya ketidakmauan masyarakat untuk mendengar pendapat yang berbeda. Benturan di tengah masyarakat menjadikan anarkistis publik meningkat tajam dan tidak lagi mengindahkan nilai demokrasi yang seharusnya menjadi tujuan utama untuk sama-sama menentukan pemimpin terbaik. Sehingga dewasa ini, perlu dilakukannya kampanye kepada masyarakat mengenai hal-hal bijak dalam bermedia sosial agar dapat mengurangi gesekan ketika terjadi kontestasi politik digital.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun