Pernikahan dengan Non Muslim Perspektif Agama Islam
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu (النكاح), menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj. Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Para ulama fiqh mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) mendefinisikan perkawinan adalah akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut. Dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan beda agama adalah pernikahan antar pemeluk agama yang berbeda. Namun mereka tetap memeluk agama masing-masing. Ada dua unsur pokok yang harus ada dalam definisi perkawinan antar-agama, yaitu keyakinan atau memeluk agama yang berbeda dan diikat dalam suatu hubungan perkawinan.
Islam sangat menganjurkan bahwa hubungan pernikahan harus dibarengi dengan unsur kesepadanan (kafa’ah). Salah satu dari unsur kesepadanan (kafa’ah) tersebut adalah ditinjau dari keyakinan agama. Namun, dalam praktiknya di Indonesia bahkan dunia banyak timbul permasalahan yang sangat bertentangan bahkan keluar dari tuntunan Islam tersebut. Apalagi pada zaman sekarang ini, pernikahan lintas agama antara muslim dengan non muslim sering terjadi di kalangan masyarakat, khususnya Indonesia yang memiliki masyarakat yang majemuk, dari segi agama dan etnis. Sehingga menjadi persoalan di masyarakat, yakni persoalan hukum pernikahan tersebut.
Pernikahan dengan non muslim, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:
Pernikahan Antara Seorang Pria Muslim dengan Wanita Non Muslim (Musyrik)
Hukum pernikahan antara seorang pria dengan wanita non muslim berdasarkan Q.S. Al-Baqarah ayat 221 adalah haram.
Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 221
وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Q.S. Al-Baqarah: 221)
Tafsir al- Maraghi, karya Ahmad Mustafa al-Maraghi menerangkan bahwa tidak diperkenankan bagi kaum muslim mengadakan hubungan dengan kaum musyrikin dengan jalan perkawinan. Tafsir al-Qurthuby, menegaskan pula bahwa umat Islam telah sepakat bahwa seorang laki-laki musyrik tidak boleh menyetubuhi wanita mukmin (atau sebaliknya) dengan jalan apapun.
Dilihat dari segi kaidah ushul fiqh, ayat tersebut jelas terdapat larangan pada kalimat “وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ”, dan asal dalam larangan menunjukkan keharaman.
Kaidah Ke-1 An-Nahyu:
الأصل في النهي للتحريم
“Asal dalam larangan menunjukkan haram”
Berdasarkan sumber hukum tersebut, Islam melarang secara mutlak pernikahan anatara seorang pria muslim dengan seorang wanita non muslim.
Pernikahan Antara Seorang Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
Firman Allah Q.S. Al-Maidah ayat 5:
ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S. Al-Maidah: 5)
Mengenai pernikahan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab, para ulama berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan atau menghalalkan dan ada yang mengharamkannya.
1) Pendapat yang membolehkan atau menghalalkan menikahi wanita ahli kitab
Dalam Q.S. al-Maidah ayat 5 dibolehkan unuk menikahi ahli kitab, juga berdasarkan sunah Nabi Muhammad Saw. yang notabene beliau pernah menikah dengan wanita ahli kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah. Demikian pula seorang sahabat beliau yang termasuk senior bernama Huzaifah bin al-Yaman pernah menikah dengan seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.
Pendekatan nasikh mansukh membolehkan pernikahan antara ahli kitab dengan muslim karena Q.S. Al-Baqarah: 221 tentang pelarangan menikah dengan musyrik telah ternasakh oleh Q.S. Al-Maidah: 5 yang membolehkan menikahi ahli kitab. Q.S. Al-Baqarah: 221 turunnya lebih dulu dari pada Q.S. Al-Maidah: 5, sehingga ayat yang datang sebelumnya ternasakh oleh ayat yang datang kemudian.
Dilihat dari segi kaidah ushul fiqh, menjelaskan bahwa perintah setelah larangan menunjukkan kebolehan.
Kaidah Ke-9 Amr
الأمر بعد النهي يفيد الاباحة
“Perintah setelah larangan menunjukkan boleh”
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan beda agama adalah boleh, yaitu menikahi wanita ahlu al-kitab. Akan tetapi termasuk golongan wanita ahlu al-kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani.
2) Pendapat yang melarang atau mengharamkan menikahi wanita ahli kitab
Ada sebagian ulama yang melarang pernikahan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab. Ahli kitab pada masa Nabi Muhammad Saw. mereka beragama Yahudi atau Nasrani, dan ajarannya dianggap masih murni. Dalam fiqh, biasanya seorang laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi seorang perempuan ahli kitab, dan seorang perempuan Muslim tidak diperbolehkan menikah dengan seorang laki-laki ahli kitab. Pada dasarnya hukum Islam melarang adanya pernikahan beda agama. Ahli kitab adalah orang yang menganut salah satu agama Samawi yang mempunyai kitab suci seperti Injil, Zabur, dan Taurat. Akan tetapi, di zaman sekarang sudah tidak ditemukan lagi seseorang yang bisa disebut dengan istilah ahli kitab tersebut. Sayang sekali, bahwa akidah dan praktek ibadah Kristen dan Yahudi telah jauh menyimpang dari ajaran tauhid yang murni. Itulah sebabnya, sebagian ulama melarang perkawinan antarpria muslim dengan wanita Kristen/Yahudi, walaupun secara tekstual berdasarkan Q.S al-Maidah ayat 5, jelas membolehkannya.
Pertimbangan lainnya adalah, pernikahan antar orang yang berlainan agama berpotensi menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Akan tetapi, kesemuanya ini tergantung pada iman seseorang terutama pria yang akan menikah dalam rangka berdakwah. Karena itu, tepat dan bijaksanalah bahwa agama Islam pada dasarnya melarang pernikahan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan orang Islam, kecuali pria muslim yang kualitas iman dan Islamnya cukup baik, diperkenankan menikah dengan wanita ahli kitab yang akidah dan praktek ibadahnya tidak jauh menyimpang dari akidah dan praktek ibadah orang Islam. Jika imannya lemah dan khawatir akan terkikis keimanan serta berakibat murtad, maka haram hukumnya menikahi wanita ahli kitab. Hal ini sesuai dengan konsep sadd adz-dzari’ah (memandang segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan).
Dalam kaidah ushul fiqh, menolak mudharat lebih didahulukan dari mengambil manfaat. Maka pernikahan dengan non muslim lebih baik dihindarkan, karena tidak semua orang tulus beriman dari hatinya melainkan ada misi-misi tertentu yang akan dilaksanakannya. Melihat hukum pernikahan beda agama dari kasus maslahat dan mafsadatnya. Apabila pernikahan dimaksud membawa mafsadat lebih besar dari pada maslahatnya, maka pernikahan beda agama itu haram hukumnya, dan demikian pula sebaliknya.
Kaidah Ke-19
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Mendahulukan untuk menolak kemafsadatan dari pada mengambil kemashlahatan”
Pernikahan Antara Seorang Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim.
Ulama telah sepakat, Islam telah melarang pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci atau ahli kitab. Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan menikah antara wanita muslimah dengan pria non muslim., ialah Q.S. Al-Mumtahanah/60 ayat 10:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٍ فَٱمْتَحِنُوهُنَّ ۖ ٱللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُوا۟ ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا۟ بِعِصَمِ ٱلْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوا۟ مَآ أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوا۟ مَآ أَنفَقُوا۟ ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ ٱللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 10)
Wanita-wanita mukmin (beriman) tidak halal menikah dengan laki-laki ahli kitab atau non muslim, hal ini berdasarkan pertimbangan dan ketentuan bahwa sesungguhnya suamilah pemegang kekuasaan terhadap istrinya, dan bagi istri wajib taat kepada perintahnya yang baik. Dalam pengertian seperti inilah maksud ‘kekuasaan’ suami terhadap istrinya. Akan tetapi, bagi orang kafir tidak ada kekuasaan terhadap laki-laki dan wanita muslim. Pertimbangan pelarangan itu berdasarkan pertimbangan memelihara maslahat dan mencegah mudarat yang diakibatkan oleh pernikahan beda agama itu.
Kaidah Ke-19
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Mendahulukan untuk menolak kemafsadatan dari pada mengambil kemashlahatan”
Dilihat dari segi kaidah ushul fiqh, ayat tersebut jelas terdapat larangan pada kalimat “فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ”, dan asal dalam larangan menunjukkan keharaman.
Kaidah Ke-1 An-Nahyu
الأصل في النهي للتحريم
“Asal dalam larangan menunjukkan haram”
Berdasarkan sumber hukum tersebut, Islam melarang perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim.
Jadi, mengenai pernikahan beda agama dalam Islam, Islam telah melarang secara mutlak pernikahan dengan non muslim berdasarkan Q.S. Al-Baqarah ayat 221 dan Q.S. Al-Mumtahanah ayat 10. Akan tetapi, dalam Q.S. Al-Maidah ayat 5 seorang pria muslim dibolehkan menikah dengan seorang wanita ahli kitab (Yahudi dan Kristen) disertai syarat dan jika kualitas keimanan dan ke-Islaman pria muslim tersebut baik. Namun, di zaman sekarang sudah tidak ditemukan lagi seseorang yang bisa disebut dengan istilah ahli kitab tersebut. Pernikahan dengan non muslim lebih baik dihindarkan sebab pernikahan semacam ini mengandung resiko yang tinggi seperti pindah agama atau bercerai, karena dalam kaidah ushul fiqh pun menolak mudharat lebih didahulukan dari mengambil manfaat.
Referensi:
Arifin, Z. (2019). Perkawinan Beda Agama. Jurnal Lentera: Kajian keagamaan, keilmuan dan teknologi, 18(1), 143-158.
Cahaya, N. (2018). Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam. Hukum Islam, 18(2), 141-156.
Hedi, F. (2019). Perkawinan Beda Agama Perspektif Hukum Islam. Mamba'ul'Ulum, 183-191.
Herdiansyah, H., Fikri, N. S., & Syariffuddin, S. (2023). Pernikahan Lintas Agama Muslim dengan Non Muslim Perspektif Hukum Islam. Al-Azhar Islamic Law Review, 5(1), 20-34.
Jalil, A. (2018). Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia. Andragogi: Jurnal Diklat Teknis Pendidikan Dan Keagamaan, 6(2), 46-69.
Makalew, J. (2013). Akibat hukum dari perkawinan beda agama di Indonesia. Lex Privatum, 1(2).