Tradisi ini baru saja dilakukan tadi malem tepatnya pada malam jumat, (27/07/2023) di Jalan Suasa Tengah Pasar 4 Kelurahan Mabar Hilir. Masyarakat Jawa memiliki tradisi turun-temurun untuk menolak bencana alam atau tolak bala. Bahkan tidak jarang setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda namun selalu menuju tujuan yang sama.
Tradisi menolak bala dilakukan pada bulan Dzulqa'dah atau dalam bahasa Jawa disebut bulan Suro. Karena bulan ini dianggap sebagai bulan yang buruk, karena Suro merupakan kepanjangan dari "olo kekesalan (menempel pada sesuatu yang buruk)". Pada bulan ini tidak ada orang Jawa yang mengadakan resepsi pernikahan yang sangat berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya dan selanjutnya yaitu bulan Syawal dan bulan Dzulhijjah.
Untuk menjalankan tradisi tolak bala, setiap keluarga harus memasak sepiring bubur. Yang khas dari bubur Tolak Bala adalah bahan yang digunakan berbeda dengan bubur yang dijual pada umumnya. Bubur Tolak bala terbuat dari tepung beras. Sama seperti cara memasak bubur sumsum, namun tanpa tambahan garam, santan atau campuran bumbu lainnya. Saat disajikan, bubur disajikan di atas piring yang dialasi daun pisang. Kemudian, di atas bubur tolak bala ditaburkan bubuk kopi hitam berbentuk silang. Hal Ini diartikan orang untuk menolak bala atau bencana alam.
Kemudian, pada malam hari, setiap masyarakat akan mematikan seluruh lampu yang ada dirumah sehingga gelap gulita tidak ada satupun cahaya yang boleh tampak dan menyala selama tradisi ini berlangsung. Kemudian masyarakat berkumpul di tempat terbuka, seperti pertigaan atau perempatan di kampung mereka. Mereka akan membawa bubur yang sudah disiapkan. Juga, beberapa orang membawa nasi dengan lauk pauk atau nasi ambeng. Warga yang berkumpul akan melafalkan yasin dan tahlil secara bersama-sama sambil terus berjalan beriringan keliling kampung sampai pada di penghujung kampung, dan tidak melupakan doa tolak bala sebagai tujuan utamanya, urutan ini disebut istighosah tolak bala. Salah satu doa dibacakan, yaitu:
"Allahummadfa' 'annal ghalaa'a wal walbalaa-a walwabaa-a walfahsyaa-a walmunkara was suyuufal mukhtalifata wasy syadaa-ida wal mihana maa zhahara minhaa wamaa baathana mim baladinaa khaashshataw wamim buldaanil muslimiina 'aam-mah. Innaka 'alaa kulli syai-in qadiir."
Artinya:
Ya Allah, lindungi kami dari kesulitan ekonomi, bencana alam, penyakit, kekejian, kejahatan, bencana perang, kesulitan dan berbagai bencana, yang terlihat maupun tersembunyi, terutama dari negara kami dan kaum Muslim pada umumnya; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ketika pemimpin tradisi ini membacakan doa penutup, setiap orang dapat meminta apapun yang mereka inginkan dengan mengadakan tangan kepada Allah SWT dan memohon padanya. Setelah berdoa selesai, sepiring bubur yang dibawa tadi akan dibuang, artinya masyarakat membuang sial atau musibah. Setelah itu, mereka akan makan nasi ambeng bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H