Bahasa merupakan media komunikasi yang berfungsi untuk interaksi sosial dan bertukar informasi. Sebagai elemen yang dinamis, bahasa terus berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Kemajuan teknologi, khususnya dalam bidang komunikasi dan informasi, telah membawa dampak besar pada aspek budaya, termasuk cara berbahasa. Penggunaan media sosial yang semakin meluas tidak hanya mengubah cara kita berinteraksi, tetapi juga melahirkan gaya bahasa baru. Bahasa Gen Z dan Gen Alpha muncul sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan digital yang serba cepat dan efisien. Bahasa ini menjadi cerminan dari perubahan cara berkomunikasi modern, yang kini lebih singkat, padat, dan penuh inovasi dalam memanfaatkan teknologi.
Perkembangan teknologi seperti hadirnya media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform berbasis video seperti Instagram, Twitter, TikTok, dan YouTube telah membentuk cara berkomunikasi baru dari kedua generasi ini. Mereka terbiasa menggunakan bahasa yang singkat, padat, dan efisien untuk mengimbangi keterbatasan karakter di platform digital seperti Twitter yang membatasi 280 karakter atau platform chat yang sering kali mengutamakan komunikasi cepat. Penggunaan singkatan menjadi salah satu ciri khas bahasa Gen Z dan Gen Alpha. Kata-kata seperti “OTW” (on the way), “BTW” (by the way), dan “LOL” (laugh out loud) menjadi populer di kalangan mereka. Selain itu, mereka juga sering menggunakan frasa atau kata-kata yang diambil dari bahasa Inggris atau bahkan menciptakan istilah-istilah baru yang hanya dipahami oleh sesama generasi. Istilah seperti “slay,” “savage,” dan “ghosting” menggambarkan bagaimana pengaruh bahasa asing sangat kuat dalam membentuk pola komunikasi generasi ini. Pengaruh teknologi juga terlihat dalam gaya komunikasi visual yang semakin mendominasi. Emoji, stiker, dan GIF (Graphics Interchange Format) digunakan sebagai pelengkap atau bahkan pengganti kata-kata dalam percakapan. Hal ini memperlihatkan adanya pergeseran dari bahasa verbal menuju bahasa visual, di mana makna disampaikan melalui gambar, bukan lagi melalui kata-kata tertulis.
Gen Z, merupakan generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh bersama perkembangan awal media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Mereka mengalami perubahan dari era pra-digital ke era digital. Banyak bahasa gaul mereka yang dipengaruhi oleh budaya pop, seperti musik dan film, yang diperkuat oleh platform seperti Vine dan YouTube. Bahasa gaul Gen Z cenderung dipengaruhi oleh meme dan budaya internet. Istilah seperti “Lit” (Seru), “FOMO” (Fear of Missing Out), dan “Yeet” (lempar sesuatu dengan penuh semangat atau ekspresi kegembiraan) adalah contoh yang populer. Mereka juga mengadopsi bahasa dari komunitas online, seperti “Stan” (Penggemar fanatik), yang berasal dari lagu Eminem.
Gen Alpha, merupakan generasi yang lahir setelah tahun 2010, yang sepenuhnya berada dalam era platform seperti TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels. Konten yang mereka konsumsi dan bagikan cenderung lebih singkat, sering kali hanya beberapa detik, yang mempengaruhi cara mereka berkomunikasi. Bahasa gaul mereka lebih ringkas dan visual, sering menggunakan emoji atau GIF. Gen Alpha lebih dipengaruhi oleh tren visual dan cepat dari platform seperti TikTok. Misalnya, istilah “Skibidi” (Absurd atau aneh) dan “Rizz” (Kemampuan merayu) menjadi populer karena tren video komedi dan musik di TikTok.
Gen Z dan Gen Alpha sering menggunakan bahasa sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok mereka. Dengan menciptakan istilah-istilah baru, mereka secara tidak langsung menciptakan eksklusivitas yang membedakan mereka dari generasi lainnya. Misalnya, kata-kata seperti "LMAO" (Laughing My Ass Off), "ngab" (berasal dari singkatan bang yang dibalik), dan "santuy" (santai) merupakan istilah yang akrab di telinga Gen Z dan Gen Alpha tetapi mungkin terdengar asing atau bahkan membingungkan bagi generasi yang lebih tua. Bahasa yang digunakan oleh kedua generasi ini juga mencerminkan nilai-nilai sosial mereka. Gen Z dan Gen Alpha dikenal sebagai generasi yang lebih terbuka terhadap keberagaman, inklusivitas, dan kesetaraan. Hal ini tercermin dalam bahasa mereka yang lebih inklusif dan tidak bias gender. Contohnya, di beberapa platform media sosial, Gen Z menggunakan istilah netral gender seperti "they/them" dalam bahasa Inggris untuk merujuk pada individu yang tidak ingin diidentifikasi berdasarkan jenis kelamin.
Bahasa Gen Z dan Gen Alpha tentu memengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Meskipun penggunaan istilah baru, slang, dan singkatan memberikan warna baru dalam bahasa, ada kekhawatiran bahwa hal ini dapat mengancam kelestarian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seiring dengan masuknya pengaruh bahasa asing, terutama bahasa Inggris, beberapa istilah dalam bahasa Indonesia mulai tergeser atau bahkan hilang dari penggunaan sehari-hari. Bahkan, beberapa ahli bahasa mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa yang terlalu bebas dan tidak mengikuti aturan tata bahasa yang baku dapat menyebabkan kemunduran dalam kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Mereka khawatir jika generasi muda terlalu terbiasa dengan bahasa singkat dan slang, kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) akan menurun. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pendidikan bahasa di Indonesia. Namun, perubahan ini tidak sepenuhnya harus dilihat sebagai ancaman. Karena bahasa selalu berkembang dan mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan zaman. Penggunaan istilah-istilah baru oleh Gen Z dan Gen Alpha dapat dianggap sebagai bagian dari evolusi bahasa Indonesia.
Bahasa Gen Z dan Gen Alpha merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari dalam perkembangan bahasa Indonesia. Pengaruh teknologi, media sosial, dan budaya global sangat kuat dalam membentuk cara berkomunikasi kedua generasi ini. Meskipun ada kekhawatiran bahwa inovasi bahasa mereka dapat melemahkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar, hal ini juga harus dilihat sebagai bentuk evolusi bahasa yang alami. Kreativitas dan dinamika yang dihadirkan oleh generasi ini menunjukkan bahwa bahasa selalu berkembang, dan tugas kita adalah memastikan keseimbangan antara inovasi dan pelestarian kaidah bahasa yang sesuai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H