Mohon tunggu...
Vina audina
Vina audina Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

vina audina jurusan ilmu pemerintahan semester 7

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Darurat Kekerasan Seksual, RUU-PKS Berpotensi Menjadi Pasal Karet

7 Desember 2021   21:48 Diperbarui: 8 Desember 2021   07:37 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan seksual yang marak terjadi di indonesia terus meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2020 terjadi kenaikan pengaduan langsung sebanyak 2.389 kasus (komnasperempuan.go.id), adapun kekerasan seksual yang banyak terjadi salah satunya yakni Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh orang terdekan seperti ayah, paman, sepupu/kerabat bahkan guru, hal itu membuat korban merasa tidak ada lagi tempat yang aman karena lingkungan terdekat justru menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual.  

Selain KDRT kekerasan seksual yang khususnya terjadi kepada perempuan secara personal banyak juga kasus kekerasan secara komunitas atau publik seperti pencabulan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Pada saat ini para korban berani speak up melalui media sosial karena menganggap bahwa akses keadilan masih lambat serta banyak yang berpikir bahwa terjadinya kekerasan seksual merupakan kesalahan korban, sehingga tak jarang yang terjadi malah korban kekerasan seksual tersebut menjadi korban hukum di indonesia menjadikan banyak korban kekerasan seksual yang enggan untuk berbicara karena merasa malu, takut dan trauma yang mendalam.

Dari catatan tersebut sudah seharusnya dan tanpa diragukan lagi pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) harus segera di sahkan guna menciptakan lingkungan aman bagi perempuan dan anak. Namun, ada beberapa yang menjadi penghalang dalam pengesahan RUU tersebut diantaranya timbul pro dan kontra serta kurangnya pemahaman bagi penerima RUU P-KS sejak 2019. Salah satu kontra yang terjadi karena RUU P-KS dianggap tidak sesuai dengan norma ketimuran dan mengesampingkan nilai-nilai agama (movanita, 2019). 

Dalam bunyi pasal 1 RUU Penghapusan kekerasan seksual menyatakan bahwa bahwa “kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau lainya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”. 

Dari pasal tersebut banyak yang beranggapan bahwa RUU PKS mengizinkan perzinaan, LGBT atau penyuka sesama jenis, hingga aborsi, tetapi tidakan non fisik seperti cat callling akan terkena pasal dan mendapatkan hukuman. Selain itu definisi dari “kekerasan seksual” mengandung banyak polemik karena dianggap berperspektif liberal menyebabkan pembahasan yang panjang dan tak kunjung selesai.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mengandung polemik didalamnya yang dipicu oleh perspektif aturan dalam rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual tersebut, yaitu cara pandang gender dan agama.

Polemik yang terjadi mengenai RUU P-KS tidak hanya terdapat pada pembahasan yang ada pada RUU tesebut tetapi ada pada cara pandang setiap orang terhadap pengertian “seksual” dan adanya mispersepsi terhadap naskah RUU P-KS, maka dari itu agar kita paham ada baiknya kita memahami tiap poin yang terdapat pada RUU tersebut. 

Contohnya dalam tindakan aborsi, aborsi dilarang jika dilakukan secara paksa serta tanpa persetujuan orang yang bersangkutan bukan berarti aborsi dilegalkan melainkan karena tindakan tersebut telah memiliki aturan hukum yaitu UU 36 pasal 75 tahun 2009 tentang kesehatan, dimana aborsi diperbolehkan hanya untuk alasan medis. Karena dalam pasal tersebut belum di sebutkan peraturan pemaksaan aborsi maka RUU P-KS menjadi jalan keluarnya.

Jika masyarakat masih mengganggap definisi “seksual” merupakan hal yang tidak dapat diukur dan dibatasi dalam perbuatan apa saja, pada pasal 1 ayat 1 Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) menyebabkan banyak tafsiran maka dan pembahasan yang berlarut-larut sehingga RUU P-KS memiliki kemungkinan menjadi pasal karet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun