Beberapa hari ini, masyarakat sedang dihebohkan isu pelemahan KPK. Berawal dari pencalonan BG sebagai calon kapolri, penetapannya sebagai tersangka oleh KPK terjadi sebelum fit and proper test. Masalah menjadi semakin rumit ketika BW ditangkap oleh polisi. Yang disayangkan adalah penangkapannya yang dilakukan dengan cara diborgol. Apakah ada balas dendam? Masih menjadi perbincangan. Reaksi untuk mendukung KPK terus bermunculan. Keberadaan presiden untuk menuntaskan masalah ini ditunggu-tunggu. Hingga akhirnya, Presiden Joko Widodo meresponnya melalui pidatonya Jumat sore (23/1). Dalam kajian semiotika sosial, pidato presiden terbentuk bersama kesesuaian antara fungsi dan konteks dalam lingkup sosial masyarakat. Semiotika sosial juga dapat dilihat dari bahasa sebagai bentuk interaksi terhadap fungsi, makna, dan dampaknya terhadap sosial.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menempatkan dirinya sebagai penguasa sebuah negara yang memiliki power karena kedudukannya yang tertinggi. Masyarakat mengharapkan kehadiran presiden untuk memperbaiki masalah yang terjadi di kedua institusi negara ini. Oleh karenanya, status yang diberikan kepada presiden diharapkan menjadi sebuah keputusan final yang dapat mengakhiri isu yang menyelimuti tubuh KPK dan Polri. Tidak ada yang lebih tinggi lagi dalam tatanan pemerintahan setelah presiden.
Presiden Jokowi memang dikenal sebagai sosok yang santun, ramah, tidak banyak bicara, dan lebih fokus pada tindakan atau aksi nyata. Saat isu KPK vs Polri mencuat, presiden memang sekilas tampaknya diam. Hingga akhirnya, Jokowi memanggil beberapa pihak yang relevan terhadap permasalahan ini, diantaranya adalah Ketua KPK dan Wakapolri. Kehadiran presiden tampak di tengah masyarakat yang penuh dengan keingintahuan. Dalam situasi yang tepat, presiden melakukan interaksi kepada masyarakat. Menurut kajian semiotik dengan perspektif bahasa, interaksi dilakukan dengan dua cara yaitu proposisi dan proposal. Proposisi adalah memberikan dan menerima informasi, dan proposal adalah memberikan dan menerima barang atau jasa. Realisasinya dilakukan melalui pernyataan (deklaratif), pertanyaan (interogatif), dan perintah (imperatif) (lihat Halliday, 1990; Martin, Matthiessen, Painter, 2003).
“Baru saja tadi saya telah melakukan pertemuan dengan Wakil Presiden, Menko Polhukam, Jaksa Agung, dan beberapa menteri serta dengan Ketua KPK dan Wakil Kepala Polri.”
Di awal pidatonya, Jokowi menyampaikan kegiatan fisik yang telah dilakukan yaitu dengan melakukan pertemuan dengan pihak-pihak yang terkait. Presiden meyakinkan masyarakat bahwa dirinya telah mempertemukan kedua pihak dari institusi-institusi yang menjadi perhatian.
Kepada KPK dan Polri
“… Saya meminta kepada institusi Polri dan KPK, memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan undang-undang yang ada”
Kutipan tersebut diambil dari isi pidato Jokowi. Proposal yang dilakukan Jokowi kepada Polri dan KPK adalah ‘meminta’. Beliau, dengan karakternya itu, memilih ‘meminta’ daripada “menginstruksikan”. Keduanya memang sama-sama memiliki pengaruh kepada orang lain untuk melakukan sesuatu. Melalui pilihan kata ini, Jokowi sepertinya sedang menunjukkan kepada rakyatnya bahwa masalah yang terjadi adalah menjadi tanggung jawab kedua institusi ini. Jokowi hanya seorang, padahal rumitnya isu ini melibatkan kumpulan orang dalam lembaga negara. Dari menetapkan tersangka, hingga menangkap tersangka yang satunya itu adalah tindakan-tindakan yang dilakukan kedua institusi ini sehingga keduanya harus dapat mempertanggungjawabkan agar keputusan tersebutmengikuti proses hukum yang jujur dan sesuai dengan undang-undang. Oleh karena itu, Jokowi memilih ‘meminta’. Kata ini dapat disandingkan dengan kata ‘mempersilahkan’ dan ‘mengajak’. Hal ini berbeda dengan ‘menginstruksikan’ yang maknanya dekat dengan ‘memerintah’, ‘mengarahkan’, dan mengomandokan’. (lihat Endarmoko pada Tesaurus Bahasa Indonesia, 2009: 415).
Instruksi memiliki status yang lebih tinggi dan keras dengan tingkat kebebasan yang terbatas daripada permintaan, meskipun keduanya merupakan proposal yang direalisasikan melalui proses perilaku verbal (lihat makna ideasional dalam Halliday, 1990; dan language and power dalam Bloor dan Bloor, 2003). Jokowi bukanlah seseorang yang otoriter. Beliau mempersilahkan kedua institusi yang sedang dalam masalah untuk saling mencari jalan keluar dan menuntaskannya dengan dasar hukum dan aturan yang berlaku di Indonesia. Presiden berusaha merangkul keduanya bersama. Permintaan Jokowi adalah mengharapkan atribut (karakter atau sifat) dari KPK dan Polri, yaitu harus obyektif dan sesuai dengan undang-undang. Sikap obyektif dan sesuai undang-undang adalah keharusan yang dijunjung, khususnya oleh kedua lembaga negara ini. Permintaan ini dilakukan dengan meminimalkan sikap otoriter dan menciptakan atmosfer yang lebih tenang bahwa yang terjadi bukanlah seperti sedang dalam keadaan berperang.
“… Saya meminta sebagai kepala negara agar institusiPolri dan KPK tidak terjadi gesekan dalam menjalankan tugas masing-masing.”
Permintaan Jokowi berikutnya adalah agar Polri dan KPK tidak bermasalah hingga terjadinya ‘kontak fisik’, yaitu ‘gesekan’. Hal ini supaya dua institusi ini tetap menjalankan tugas dengan baik. Keduanya merupakan lembaga penegak hukum yang seharusnya tidak perlu berkonflik tetapi saling mendukung dan menguatkan.
Khusus Awak Media
Keberadaan media berperan penting dalam menginformasikan apa yang sedang terjadi. Peran media juga menjadi perhatian Jokowi. Presiden mengharapkan media tetap dalam perannya yang menyampaikan hal-hal yang obyektif. Pers sering disebut sebagai bagian penting dalam demokrasi. Sehingga media memiliki posisi penting dalam membentuk opini masyarakat.
“Kita berharap semua juga, terutama media, menyampaikan hal-hal obyektif…”
Pola interaksi yang terjadi adalah proposal – proposisi – proposal – proposisi – proposal – proposisi, dengan makna ideasional proses perilaku:verbal (gabungan proses fisik dan bertutur) –relasional:atributif (proses memberikan karakter atau sifat) – perilaku:verbal – material (proses fisik) – perilaku:verbal – verbal (proses bertutur). Proses merefleksikan makna ideasional:eksperiensial. Istilah ini merujuk pada makna pengalaman hasil refleksi bahasa sebagai tanda dari kehidupan sosial (lihat transitivity dalam Halliday, 1990; Martin, Matthiessen, Painter, 2003; Gerot dan Wignell, 1995). Tampak bahwa Jokowi menampilkan berbagai permintaannya yang dilakukan secara verbal dengan efek tindakan dari proposisi-proposisi yang mendukungnya meliputi pemberian atribut (karakter atau sifat) dan proses fisik.Proses penyertaan atribut dan fisik diberikan kepada KPK dan Polri agar menjunjung tinggi hukum, sesuai dengan undang-undang, dan tidak ada gesekan. Sedangkan proses bertutur diberikan kepada khususnya media untuk menyampaikan hal-hal obyektif.
Kita semua juga mengharapkan KPK dan Polri menjadi keutuhan lembaga penegak hukum dengan sifat dan karakternya yang baik dan saling mendukung sehingga tidak ada lagi gesekan. KPK dan Polri memang harus selamat dari kecemasan masyarakat terhadap buruknya dampak politik dan korupsi. Presiden kita telah mempersilahkan keduanya untuk menemukan titik terang. Dalam kampanyenya, Jokowi memang mengedepankan pemerintahan yang bersih. Jokowi hanya satu, tapi yang dihadapinya adalah kumpulan dari banyak orang, dalam kasus ini adalah di dalam institusi negara. Pribadinya mengharapkan tujuan itu tercapai, Dengan semangatnya, semoga kesadaran institusi negara mengikuti beliau. Perhatian kita sebaiknya sekarang tertuju kepada dimana masalah itu terjadi. Presiden telah menyerahkan ‘yang sedang dalam masalah’ untuk bertanggungjawab diatas hukum dan obyektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H