Mohon tunggu...
Vilya Lakstian
Vilya Lakstian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis adalah Dosen Linguistik di Jurusan Sastra Inggris dan Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta, Akademi Bahasa Asing Harapan Bangsa, dan International Hospitality Center. Selain mengajar mahasiswa, dia juga mengajar untuk staff hotel, pelayaran, dan pramugari. Penulis adalah lulusan Pascasarjana Prodi Linguistik Deskriptif di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Sarjana Sastra Inggris konsentrasi Linguistik di IAIN Surakarta. Penulis aktif dalam penelitian dan kajian sosial. Penulis juga sering menulis untuk media massa, dan penelitian untuk jurnal. Dalam berbagai kajian bahasa yang telah dilakukannya, linguistik sistemik fungsional menjadi topik yang sering dibahas dan dikembangkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kearifan Lokal Berbasis Agama sebagai Sumber Perekat Rakyat

16 Desember 2014   00:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:14 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini agama menghadapi permasalahan yang lebih kompleks,yaitu pada keberagaman kultural. Sekarang kita dihadapkan pada berbagai macam bentuk perpecahan. Adanya kelompok-kelompok yang membuat tandingan, ricuh, dan masih banyak lagi yang mengganggu ketentraman bermasyarakat. Padahal, kita semua hidup di tanah air yang sama, bahkan budaya yang sama.

"Apakah Indonesia adalah bangsa yang artistik? ", kata Prie G.S, seorang budayawan yang menjadi pembicara dalam Seminar Islam dan Budaya dalam rangka memperingati Dies Natalis ke 22 IAIN Surakarta. Dia menggambarkan situasi di negara ini yang tampaknya senang menciptakan tontonan yang membuat tawa bahkan kemarahan, memainkan emosi rakyat.

Seminar ini dikemas menarik oleh IAIN Surakarta dengan memberikan diskusi tentang Islam dalam hubungannya dengan budaya Jawa. Acara dibuka oleh Rektor IAIN Surakarta, Imam Sukardi. Agama, menurutnya,melingkupi berbagai aspek. Tidak hanya masalah teologi tetapi juga kemasyarakatan. Agama dianut bukan hanya hubungan kita kepada Tuhan tetapi juga bagaimana hidup bersama masyarakat. Hal ini menarik ketika dihubungkan dengan Al-Quran dalam Surat Al-Hujurat ayat 23 bahwa Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Bila kita hubungkan dengan surat tersebut,dapat disimpulkan bahwa Islam adalah rahmat untuk alam. Hal ini sungguh berkaitan erat. Realitas alam adalah keragaman. Kekayaan alam sebetulnya adalah sebuah sebutan untuk berbagai macam hal di dalamnya. Lalu? Apa hubungannya dengan masyarakat? Manusia hidup bersama di dalam alam. Manusia juga diciptakan berbeda-beda baik secara fisik, cara pandang, dan latar belakang lainnya.

Sebagai seorang budayawan, Ahmad Tohari, membuka pengetahuan hadirin seminar dalam memaknai kearifan lokal. Kelokalan, dikatakannya sebagai amanat. Hal ini didukung oleh surat Al -Hujurat itu. Manusia yang diciptakan Tuhan dalam berbagai kaum itu merupakan suatu ihwal yang disebut kodrat. Berkaum adalah kodrat manusia. Di dalam kehidupan masyarakat Jawa, kita dapat menemui berbagai ritual yang dilakukan guna lebih dekat dengan Sang Pencipta. Kenyataan ini bukanlah bentuk dari kemusyrikan. Para wali dan ulama pada masa yang lalu telah mendesain islamisasi dengan sangat apik dan harmonis. Abdullah Faishol, pembicara dari Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta, menambahkan bahwa Aspek-aspek ketauhidan Islam masuk dengan memaksimalkan konstruksi simbol budaya. Pada cerita wayang, terdapat cerita ketika Bima mengambil air suci atau Tirta Marta. Air itu ternyata ditemukannya pada Dewa Ruci yang ditampilkan sebagai sosok yang berbadan kecil. Maksud cuplikan cerita ini sebetulnya merupakan pelajaran islami, yang maksudnya adalah melawan hawa nafsu. . Masuknya pesan islami melalui produk budaya ini merupakan aplikasi tasawuf, yaitu dengan menyesuaikan budaya setempat dalam rangka islamisasi. Proses ini sampai pada pemilihan istilah seperti 'jumatan', 'yasinan', 'tahlilan', dan sebagainya.

Eling lan Waspada

Di tengah konflik di masyarakat saat ini, perlu bagi kita untuk kembali pada budaya sebagai bentuk kearifan lokal yang harus kita jaga. Kembalinya kita untuk berdiri berdampingan dengan budaya akan membentuk pemikiran yang realitis sesuai dengan kenyataan. Disebut dalam bahasa jawa sebagai 'sak madya' atau sewajarnya. Mari kita ambil contoh. Ada bagian dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa pada hari kiamat, gunung-gunung akan diterbangkan kesana-kemari. Lalu apa yang ada di pikiran kita? Lebih realistis mana dalam sekilas pikiran kita,Gunung Sinai atau Merapi? Lalu saat kita mencoba untuk menginterpretasikan seekor hewan yang makan rumput, kemudian menghasilkan susu dan kotoran.masyarakat sekitar kita pasti menjawab hewan itu adalah Sapi, berbeda dengan oramg Timur Tengah yang pasti menunjuk Unta. Tohari menambahkan, dakwah Islam dilakukan dengan menyentuh titik paling peka, yaitu rasa serta kesadaran kejawaan. Aspek yang dituju adalah falsafah, bahasa, dan kesenian orang jawa. Tembang-tembang Jawa umumnya didominasi tema pendidikan dan permenungan. Dalam aplikasinya, para wali memasukkan ideologi islam melalui tembang. Pada tembang Dhandhanggula, kita sudah bisa melihat pada baris pertama. "Wenang sami ngawruhana pati" berasal dari "cukuplah mati sebagai guru" yang diambil dari Hadist. "Wong agesang tan palasastra" pada kalimat kedua memiliki arti "yang bernyawa akan merasakan mati".

Ranggawarsita, seorang pujangga Kasunanan Surakarta, memasukkan konsep "eling (lan waspada)" sebagai kata lain dari taqwa pada karyanya yang berjudul Sinom. Ranggawarsita berusaha untuk mendefinisikan, bahkan membantu masyarakat jawa memahami konsep taqwa. Tidak mudah untuk kebanyakan orang jawa menghayati konsep ini pada masa itu. Eling memiliki pengaruh yang sakti, karena mampu menembus wilayah religius mereka. Oleh karena itu, apabila seseorang diberi nasehat "Dadia wong sing eling" memiliki makna yang sama dengan "Jadilah orang yang bertaqwa.

Untuk Masa Kini

Begitulah bagaimana Islam akhirnya dapat diterima baik oleh masyarakat jawa karena prosesnya melalui aspek budaya, sehingga kurang tepat apabila masih ada konflik berlatarbelakang agama dewasa ini. Dengan memahami Islam dengan budaya jawa,kita dapat merasakan bagaimana religiusitas berdiri bersama kearifan lokal yang adiluhung. Menurut Prie, Indonesia ini kaya akan nilai artistik. Kita perlu meningkatkan aset ini lebih dari hanya sekedar tontonan. Kita tidak ingin konflik hanya sebagai konsumsi tontonan publik. Perbedaan sejatinya adalah sebuah keunikan yang mestinya semakin mempererat kita, dengan saling mengenal satu sama lain. Perlu untuk mengadopsi, yang dikatakan Prie, sebagai cara berpikir ilmiah yaitu menitikberatkan pada kebutuhan. "Fokus masa kini bukanlah pada sekat-sekat budaya. Itu sudah kuno. Saat ini yang kita butuhkan adalah bagaimana menyesuaikan dan berdiri bersama budaya agar mereka yang di dalamnya senang dan nyaman kepada kita sehingga dapat saling bekerjasama", kata Bapak Rektor menutup sambutannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun