Mohon tunggu...
Vilya Lakstian
Vilya Lakstian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis adalah Dosen Linguistik di Jurusan Sastra Inggris dan Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta, Akademi Bahasa Asing Harapan Bangsa, dan International Hospitality Center. Selain mengajar mahasiswa, dia juga mengajar untuk staff hotel, pelayaran, dan pramugari. Penulis adalah lulusan Pascasarjana Prodi Linguistik Deskriptif di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Sarjana Sastra Inggris konsentrasi Linguistik di IAIN Surakarta. Penulis aktif dalam penelitian dan kajian sosial. Penulis juga sering menulis untuk media massa, dan penelitian untuk jurnal. Dalam berbagai kajian bahasa yang telah dilakukannya, linguistik sistemik fungsional menjadi topik yang sering dibahas dan dikembangkan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Bisnis Kuliner Bikin Daging Langka (?)

12 Agustus 2015   11:23 Diperbarui: 12 Agustus 2015   11:45 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia begitu luas dan masih banyak daerah yang belum terjamah. Asumsinya, sangat dimungkinkan sekali kita memiliki banyak pedesaan bahkan hutan dimana pepohonan dan ruang hijau tersedia melimpah. Berita tentang langkanya daging sapi cukup mengejutkan. Sapi makannya rumput. Pasti mudah menemukan sapi. Itu pikiran dari saya yang begitu sederhana. Tetapi dengan jumlah permintaan yang lebih banyak daripada yang tersedia, belum lagi harga yang terus naik??

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada dan  Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), konsumsi daging sapi di Indonesia mencapai 590.000 ton pada tahun 2014. Tahun ini, kebutuhan daging sapi mencapai 640.000, atau meningkat sebesar 8,5 persen. Ditambahkan pula, terjadi peningkatan dari 3,1 juta ekor menjadi 3,5 juta ekor tahun ini (Tribunews Online, 24 Oktober 2014)

Jumlah di atas bisa saja menjadi lebih besar. Apalagi, sekarang bisnis kuliner lagi ramai. Tentu setiap warung atau rumah makan akan menyiapkan lebih.

Pebisnis nakal

Perhatian saya sebetulnya malah tertuju pada bisnis kuliner itu. Saya teringat ketika ada seorang pejabat yang saat itu sedang diwawancara oleh salah satu TV swasta. Dia mengatakan bahwa pada jaman beliau masih dengan orang tua, satu butir telur dimasak dadar masih dibagi dengan tiga saudara kandungnya. Hal serupa juga dikatakan oleh kedua orang tua saya. Pada jamannya, mereka tidak terlalu sering makan daging sapi. Padahal keduanya adalah anak pejabat, secara ekonomi sudah pasti mampu membelinya. Tetapi kedua orang tuanya tetap bijaksana. Diusahakan Setiap seminggu sekali makan daging. Karena anak-anaknya banyak,   dibagi-bagi dengan kakak dan adiknya. Masakan sayurnya dibuat beragam. Sehingga, tetap nikmat.

Sekarang bisnis kuliner juga menjelma menjadi franchise. Tentu bahan baku yang diperlukan akan lebih banyak. Hewan-hewan ternak harus menerima makanan dan obat supaya dagingnya gemuk-gemuk dan cepat berkembangbiak. Bahkan, beberapa pengusaha nakal sampai menyiksanya.

Ada satu jalan raya di dekat rumah saya dimana banyak rumah makan dengan bahan baku daging seperti soto, sate, gulai, thengkleng, dan sebagainya. Itu baru di dekat rumah. Di luar sana apalagi!

Beberapa kota menggenjot pariwisata dengan  wisata kuliner, sampai-sampai dibuatkan area khusus.

Daging dan Peningkatan Gizi Masyarakat

Padahal, sejak kecil kita telah diajari bagaimana memiliki asupan gizi yang seimbang, yaitu dengan "4 Sehat 5 Sempurna" yang meliputi zat tenaga, pengatur, dan pembangun. Daging adalah bagian dari zat pembangun, yang kalau dilihat di piramida makanan sehat, berada di lapisan ketiga bagian atas dimana jumlahnya lebih sedikit dari kedua zat di bawahnya.

Penting juga untuk mempertimbangkan lebih pada sayur-sayuran.  Manusia awalnya dekat dengan alam. Unsur alam yang sangat alami ya yang berasal dari  bumi. Tumbuh dan berkembang darinya. Bisa buah-buahan atau sayur-sayuran.

Yaaah, apa boleh buat. Manusia sudah terlanjur banyak. Generasi sekarang sudah dihadapkan dengan makanan berprotein tinggi dan enak-enak. Anak-anak sekarang badannya juga tinggi dan besar, dibandingkan dengan 10-15 tahun yang lalu, saya pasti kalah. Akses mengkonsumsi daging yang lebih mudah juga menunjukkan kemajuan dalam peningkatan  gizi suatu negara

Berfikir yang simple saja. Kalau harga daging sedang mahal, makan sop, oseng-oseng, atau orak-arik juga enak. Kalau pagi bisa makan gudangan atau pecel. Ini malah kesempatan menstabilkan tubuh dengan serat.

Saya jadi ingat ibu di kampung halaman. Ibu adalah orang yang berperan penting dalam pembentukan gizi keluarga. Mari kita kembali ke masakan ibu yang teliti memilih menu makanan yang tepat  untuk kita. 9 bulan dalam kandungan, hingga tumbuh kembang kita, ibu sudah terbiasa mempertimbangkan asupan gizi yang pas. Yang pasti, sesuai dengan selera kita. Jangan kaget kalau ibu membawakan anda sayur bayam, bakwan jagung, dan minuman jeruk peras hangat, beliau akan bilang, "Waktu kecil kamu suka sekali makan pakai ini.."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun