Masih dalam suasana presiden Indonesia yang baru, Joko Widodo adalah sosok yang menarik untuk diperbincangkan. Dia adalah seorang presiden yang berhasil terpilih dari kalangan rakyat biasa. Berbeda dengan yang sebelumnya, presiden kita mayoritas didominasi oleh kalangan militer dan elite. Hal ini sepertinya juga mudah ditemukan di berbagai negara.
Sebuah tulisan yang inspiratif dan menarik dari Acep Iwan Saidi dengan artikelnya “Kabinet Semiotika Jokowi” pada Opini Kompas hari Jumat (24/10) yang lalu. Artikel tersebut dapat memaknai berbagai tanda-tanda yang ada secara semiotik memiliki peran dalam penyampaian pesan kepada kita. Sebagai bagian dari awal pemerintahannya, pidato berperan penting dalam memberikan sebuah kerangka dan gambaran kerja. Tentu artikel ini juga terinspirasi dari tulisan Acep. Dalam kesempatan ini, tulisan ini dibuat dengan kajian semiotik dengan sudut pandang bahasa.
Suatu Bentuk Ideologi
Pada teks pidato, bahasa berperan penting dalam penyampaian pesan kepada target pendengarnya. Selain Jokowi sebagai seseorang yang dari “dusun”, Acep juga menjelaskan bahwa wilayah yang dikatakannya juga sebagai “pinggiran” adalah metafora ide yang turut melahirkan revolusi mental, seperti yang selalu dikatakan Jokowi. Latar belakang seorang sosok juga membangun ideologi khusus yang berbeda dengan orang lain. Menurut Dijk (2000: 4), ideologi merupakan sebuah bentuk kognisi sosial yang diungkapkan dari anggota pada sebuah kelompok sosial. Dalam hal ini, Jokowi, yang merupakan bagian dari rakyat biasa, memiliki ideologi tersendiri yang tentu akan berbeda. Hal ini kemudian direpresentasikan Jokowi melalui pidatonya yang dikenal dengan “kerja, kerja, kerja!”, sebuah bentuk ekspresi kaum rakyat biasa dalam kehidupannya yang membutuhkan kerja keras agar tetap hidup.
Pidato Jokowi itu seperti pidato pada umumnya. Tetapi terdapat suatu rasa yang berbeda yaitu dengan melibatkan rakyat. Perhatikan saja beberapa pesan yang disampaikannya.
“Saya yakin tugas sejarah yang maha berat ini bisa kita pikul bersama….. Persatuan dan gotong royong adalah syarat bagi kita menjadi bangsa yang besar…. Kita tidak pernah betul-betul merdeka tanpa kerja keras….. Bekerja, bekerja, bekerja adalah yang utama..”
“Persatuan”, “gotong royong”, “kerja keras”, dan “bekerja” adalah suatu bentuk ideologi yang coba dibangun oleh Jokowi kepada kalangan pemerintahan. Kata-kata kunci tersebut seperti merepresentasikan kehidupan rakyat yang perlu diresapi kembali oleh “orang-orang pemerintahan”.
Halliday (1990) menjelaskan tentang metafungsi bahasa yaitu ideasioal, interpersonal, dan tekstual. Menurutnya, bahasa selalu dalam bentuk teks. Teks menjalankan tugasnya dengan metafungsi tersebut sesuai dengan fungsi sosialnya. Pada petikan pesan dari Jokowi yang telah disebut diatas, tampak bahwa berbagai kata kunci tersebut membentuk kumpulan gagasan atau ide. Kumpulan ide itu terangkai secara kohesif dan koheren dalam membentuk suatu framework ideologi Jokowi. Secara interpersonal, Jokowi banyak menggunakan pilihan kata yang diungkapkannya dalam menjalankan fungsi sosialnya,
“Kepada para nelayan, para buruh, para petani, para pedagang bakso, para pedagan asongan, sopir, akademisi, guru, TNI, Polri, pengusaha dan kalangan professional, saya menyerukan untuk bekerja keras, bahu membahu, bergotong royong karena inilah momen sejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama, untuk, bekerja, untuk bekerja, bekerja.”
Jokowi menyebutkan berbagai macam orang di masyarakat. Nelayan, buruh,petani, hingga professional adalah seluruh rakyat Indonesia. Pesan ini disampaikannya dalam bentuk deklaratif yang bersifat proposal. Proposal dalam pesan ini menunjukkan suatu bentuk ekspresi mengarahkan orang-orang untuk melakukan sesuatu (lihat makna interpersonal dalam Djatmika 2012; Halliday, 1990; Martin, 1992; Martin, Matthiessen, dan Painter, 2006; Santosa 2003; Thompson, 2004). Fungsi sosial yang dilakukan seorang presiden adalah, tentu, mengarahkan rakyat demi kemajuan dan kemakmuran bangsa. Penyebutan berbagai macam orang dalam masyarakat itu adalah contoh dari vokasi. Martin (1992) mengatakan bahwa vokasi turut serta menciptakan kedekatan seorang pembicara kepada pendengarnya. Jokowi telah menciptakan kedekatan itu yaitu dengan melibatkan mereka dalam kehadiran negara.
Teknik Pemaparan Jokowi
Teknik pemaparan Jokowi begitu menarik. Sebagai seorang petinggi negara, dia harus tahu banyak hal; tetapi tidak semua orang, khususnya rakyat kecil, mengerti.
“Baru saja kami, Jokowi dan JK, mengucapkan sumpah. Sumpah itu memiliki makna spiritual yang amat dalam yang menegaskan komitmen untuk bekerja keras mencapai kehendak kita bersama sebagai bangsa yang besar.”
“Persatuan dan gotong royong adalah syarat bagi kita untuk menjadi bangsa besar, kita tidak akan pernah besar jika terjebak dalam keterbelahan dan keterpecahan dan kita tidak pernah betul-betul merdeka tanpa kerja keras.”
Jokowi sempat menyebut berbagai abstraksi seperti “sumpah”. “persatuan”, dan “gotong royong”. Banyaknya bentuk abstraksi dapat membuat seseorang terlihat “jauh” karena bahasanya sulit dimengerti. Terlalu banyak abstraksi membuat pendengarnya harus berpikir lagi untuk memaknai deskripsi dari abstraksi tersebut (lihat Martin, 1990). Tetapi Jokowi mampu memberikan deskripsinya agar rakyat mengerti berbagai istilah itu. Sehingga, pesan itu tampak tidak susah lagi karena abstraksi tersebut dapat disampaikan kembali dengan definisi yang umum dan dapat dipahami.
Kemudian, pengorganisasian pesan itu lah yang berupa bahasa sebagai makna tekstual seperti yang telah dibahas pada penggunaan abstraksi. Selain itu, Jokowi telah membawa pendengarnya, yaitu rakyat, untuk melintasi ruang dan waktu. Dia membawa kita dalam realitas masa kini, masa lalu, dan yang akan datang. Jokowi menceritakan apa itu sumpah, bagaimana bangsa kita begitu jaya di masa lalu, dan apa saja harapan ke depan. Penyampaian pidato oleh Jokowi juga bersifat tegas, linier, dan minim dalam “markah”. Pesan yang disampaikan dipaparkan secara runtut dan berlanjut. Kenyataan ini didukung dengan minimnya “markah” pada pesan-pesannya. Titik awal pesan dari Jokowi merupakan tema-tema yang sedang dibicarakan, kemudian dikembangkan gagasannya.
Inilah pesan dari Jokowi dalam pidato pelantikannya melalui analisis bahasa dengan semiotik yang dikenal dengan pendekatan linguistik sistemik fungsional. Sifatnya yang fungsional membuat kajian bahasa mampu dipaparkan bagaimana fungsinya dalam kehidupan sosial. Semoga dengan terpilihnya Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia dengan berbagai gagasannya membawa rakyat bersama membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik lagi. Semangat “kerja, kerja, kerja” harus selalu ditumbuhkan untuk merevolusi mental manusia Indonesia yang gigih dan giat sebagaimana yang dikatakan Bung Karno, “Aku lebih suka melihat ombak samudera yang menggebu-gebu daripada sawah yang tenang”. Hidup itu memang penuh perjuangan keras. Selain meletakkan harapan, kita juga harus mendatangkan harapan itu terwujud. Semoga menjadi langkah baru yang menginspirasi.
Vilya Lakstian Catra Mulia
Dosen di Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H