Mohon tunggu...
Fitri Vilona
Fitri Vilona Mohon Tunggu... wiraswasta -

Merelakan tak sebegitu berat ketika yakin akan mendapatkan yang lebih baik begitu cepat. Salam hangat, penikmat huruf ♡

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keberanian Putri Aceh Ini Mengapa Dilupakan?

31 Oktober 2012   04:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:11 4648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_206751" align="aligncenter" width="300" caption="blogspot"][/caption] Putri cantik yang dilahirkan oleh pasangan taat beragama dari keluarga bangsawan pada tahun 1848 ini diperebutkan banyak sekali kaum adam. Mereka mengaggumi kepandaiannya, hingga pada usia 12 tahun wanita yang meski belum cukup umur untuk menikah tapi memiliki pendidikan yang kuat pada bidang agama dan rumah tangga ini dinikahkan oleh orangtuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga pada tahun 1862. Dari pernikahan tersebut mereka memiliki satu orang putra. Cut Nyak Dien, Pahlawan perempuan Nasional Indonesia dari Aceh yang memiliki peran penting dalam merebut kemerdekaan dan mempertahankan wilayahnya yang diserang musuh pertama Aceh yaitu Belanda.  Pada tanggal 26 Maret 1873, Aceh sah  dijadikan lawan perang oleh Belanda. Belanda mengawali perangnya dengan menembakan meriam ke daratan Aceh  dari kapal perangnya yang mereka juluki Citadel van Antwerpen. Perang pertama ini terjadi selama setahun. Pada perang yang dipasuki 3.198 prajurit ini, Belanda berhasil melumpuhkan Aceh dengan menguasai Masjid Raya Baitturrahman dengan membakarnya, mendengar kabar tersebut Cut Nyak Dien berang dan berteriak lantang kepada masyarakat disana.. " Lihatlah kalian (Orang-orang Aceh)! Tempat ibadah kita dirusak! Mereka telah merusak nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita dijadikan budak Belanda?" Kemudian pasukan Aceh yang dipimpin Ibrahim Lamnga pun melawan dan memenangkan perang pertama tersebut. Tapi tak sampai disitu kemenangan Aceh, setahun setelah perang pertama  itu, Belanda berhasil menguasai daerah VI Mukim hingga tahun 1880. Karenanya, Cut Nyak Dien membawa bayinya bersama rombongan ibu-ibu dan masyarakat yang lain untuk mengungsi. Namun tidak untuk suaminya, karena Teuku Cik Ibrahim Lamnga yang tetap harus tinggal untuk melanjutkan bertempur demi merebut kembali daerah VI Mukim. Deria Cut Nyak Dien belum selesai sampai disitu, tiga tahun setelah mengungsi, ia mendengar suaminya tewas pada pertempuran di Gle Tarum. Itu membuatnya sangat terpukul, marah, dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Namun pesona Cut Nyak Dien tak pernah kelam, Teuku Umar menjadi saksi pesona perempuan hebat itu. Beliau melamar Cut Nyak Dien yang semulanya ditolak, namun karena Teuku Umar mempersilahkan ia ikut berperang maka Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan meresmikan hubungannya pada tahun 1880. Mendengar kabar ini, pejuang Aceh merasa dibangkitkan kembali semangat perangnya melawan Kaphe Ulanda, sebutan Belanda Kafir. Dari pernikahannya bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dien mendapatkan seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Masih dalam semangat yang menggebu-gebu, suami keduanya, Teuku Umar dan bersama 250 pasukannya memiliki rencana untuk menjatuhkan Belanda dengan cara yang berbeda, bukan dengan perang melainkan menjalani rencana untuk melumpuhkan Belanda dari 'dalam'. Belanda terkejut karena ada satu pemipin pasukan perang Aceh yang mau bergabung dan bersedia membantu mereka, dan bodohnya mereka menerima Teuku Umar dan pasukannya dengan senang hati, sampai-sampai mereka memberi sebuah gelar untuk suami Cut Nyak Dien tersebut, yaitu Teuku Umar Johan Pahlawan. Dari mulut ke mulut akhirnya kabar itu sampai ke telinga masyarakat Aceh, tentu mereka sangat marah karena menganggap Teuku Umar pengkhianat bangsa, hingga sampai suatu hari Cut Nyak Meutia melabrak Cut Nyak Dien dan memakinya. Demi kelancaran menjalani rencananya, Teuku Umar tak memberi tahu seorang pun tentang renacanya, termasuk Cut Nyak Dien. Dengan segala misi-misi pasukannya, akhirnya Teuku Umar dan Cut Nyak Dien pergi bersama seluruh pasukannya dengan membawa perlengkapan perang, seperti senjata dan amunisi milik Belanda sesuai dengan rencana mereka. Merasa dikhianati, Belanda marah dan menyebut Teuku Umar dengan Het verraad van Teuku Oemar, yaitu pengkhianatan Teuku Umar. Lalu masih dengan kekesalannya, Belanda membakar rumah Umar dan menggerakan pasukan untuk mencari keberadaannya bersama Cut Nyak Dien. Bermodal senjata yang diperolehnya dari Belanda, Cut Nyak Dien dan Teuku Umar terus menekan Belanda sampai pasukan mereka kacau balau. Tapi kepuasan Cut Nyak Dien terhenti sampai suami keduanya ini pun gugur dalam perang merebut Meulaboh yang sengaja sudah disiasati Belanda untuk mengincar Teuku Umar. Cut Gambang, anak dari Teuku Umar dan Cut Nyak Dien ini pun tak sanggup menahan kesedihannya, ia menangis. Tapi oleh sang Ibu, Cut Gambang ditampar kemudian dipeluk sambil berkata.. "Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid." Tanpa sang suami, Cut Nyak Dien yang seorang diri akhirnya memimpin pasukannya melawan Belanda. Tapi apa daya sang Ibu hebat ini pun bisa tua, penyakit tuanya menghantarkan Cut Nyak Dien akhirnya tertangkap Belanda. Sebenarnya penangkapan ini sengaja di rencanakan oleh pasukan Cut Nyak Dien, bukan maksud mereka jahat tapi mereka iba karena makanan yang sulit diperoleh membuat Cut Nyak Dien menjadi tambah sakit karena penyakitnya. [caption id="" align="alignnone" width="382" caption="blogspot"]

blogspot
blogspot
[/caption] Karenanya, Cut Nyak Dien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat Belanda disana. Setelah  kesehatannya membaik, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang oleh Belanda bersama tahanan yang lain. Di Sumedang Beliau disebut sebagai Ibu Perbu, sebutan itu diperoleh karena Cut Nyak Dien merupakan ahli dalam agama Islam. Usianya kian menua, Cut Nyak Dien mengehembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 6 November 1908. Beliau diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presien Soekarno pada tahun 1959 atas permintaan Gubernur Aceh saat itu, yaitu Ali Hasan. Kini makam Cut Nyak Dien yang terletak di Sumedang tak seramai peziarahnya seperti saat-saat makamnya baru di resmikan Gubernur Aceh pada tahun 1987, Ibrahim Hasan. Pengaruh Gerakan Aceh Merdeka atau GAM saat itu cukup besar untuk menjadikan asumsi masyarakat terhadap Aceh, penjagaan  makam oleh aparat kepolisian juga mempengaruhi sepinya pengunjung Makam. [caption id="" align="alignnone" width="396" caption="blogspot"]
blogspot
blogspot
[/caption] Hingga kini, makam Cut Nyak Dien memperoleh biaya perawatan hanya dari kotak amal di daerah makam, karena pemerintah Sumedang tak peduli lagi dengan artinya jasa pahlawan sampai untuk memberi biaya perawatan makam pun mereka enggan. Perjuangan perempuan cantik ini tak begitu saja luput dari ingatan anak bangsa, serenten apresiasi yang diwujudkan untuk memamerkan pahlawan Cut Nyak Dien kita dibentuk dengan adanya film drama tahun 1988 berjudul Tjot Nja' Dhien. Ada juga kapal perang yang sengaja diberi nama KRI Cut Nyak Dhien sebagai rasa bangga, serta gambarnya diabadikan pada selembar uang kertas sebesar Rp. 10.000,00 yang dikeluarkan pada tahun 1998. Kini, membangkitkan rasa nasionalisme dan inspirasi mana lagi yang kalian tak ketahui?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun