Mohon tunggu...
Yhonas Oktavian
Yhonas Oktavian Mohon Tunggu... Administrasi - overthinker

Seperti oksigen yang selalu terikat dalam darah, terangkut dari jantung, terpompa ke seluruh nadi, syaraf, dan pori, membanjiri seluruh tubuhmu dalam setiap jengkal waktu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Penungguan, Sebuah Sakramen Kehidupan

31 Agustus 2012   05:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:06 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13463916201529353593

Penungguan adalah misteri – sebuah sakramen abadi yang tidak terlepas dari kehidupan. Selalu ada terselip makna dalam setiap detik penungguan yang terjadi. Ya, penungguan adalah sebuah misteri, misteri yang tidak sesederhana tampaknya, sehingga setiap orang di dunia ini dalam hidupnya diharuskan merelakan ribuan menitnya untuk sebuah kata yang dinamakan menunggu. Setiap hari semua orang dihadapkan pada situasi menunggu, mencobai kesabaran, pun kegelisahan, memaksa manusia belajar untuk mengendalikan dirinya. Berbeda-beda mungkin, ada yang sekedar menunggu sarapan tersaji, ada yang menunggu sebuah sms balasan tiba, ada yang menunggu teman datang, ada yang menunggu konser musik favoritnya, atau bahkan hanya sekedar menunggu antrean mandi mungkin? Mungkin beberapa orang yang lain menunggu hari ulang tahun tiba, menunggu hari lebaran tiba, menunggu hari natal tiba, menunggu hari libur tiba. Beberapa orang mungkin sedang menunggu sebuah kelulusan, mendapatkan pekerjaan pertamanya, mendapat promosinya di tempat kerja. Setiap orang selalu menunggu kesuksesannya. ya…setiap orang telah menunggu banyak hal dalam hidup mereka. Setiap orang menunggu saat-saat diri mereka menjadi dewasa dan menua. Setiap orang menunggu sebuah suara dari dalam dirinya yang memberitahu “inilah saatnya” bahwa kita telah siap untuk memasuki sebuah tahap selanjutnya yang baru. Setiap orang menunggu dan berproses untuk sebuah pencapaian – untuk mencapai sebuah tahap dimana mereka bebas menentukan keputusannya. Beberapa tempat seperti bandara, stasiun kereta api, dan halte merupakan sebuah “kuil penungguan” yang selalu dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan yang menunggu kedatangan cinta mereka, mmm…sebentar tunggu dulu, tidak semua, beberapa diantaranya menunggu untuk mengucapkan salam perpisahan kepada setiap akhir genggaman tangan. Setiap orang tidak akan mampu menghindar dari sebuah penungguan. Penungguan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam sebuah kehidupan bagaikan sulur-sulur benang yang sudah tertenun menyatu membentuk kisah kehidupan setiap orang. Di jaman yang serba instant ini, kadang ada di saat kita dituntut untuk melupakan sebuah perenungan dan penungguan. Kita mungkin sering mendengar “Ambil semuanya yang bisa anda dapatkan, kalau tidak sekarang, mau kapan lagi?” atau iklan-iklan dalam Bahasa Inggris yang keren “Get it now!” yang mengarahkan kita kepada kesenangan instant, kesenangan berlebihan yang melampaui batas. Ada juga pendapat “Jangan menunggu untuk apapun, hidup ini singkat, makan, minum, dan bersenang-senanglah karena besok kamu hanya akan mati”. Rasionalisasi seperti itu yang mencegah kita untuk sekedar sejenak menjatuhkan jangkar kehidupan yang membuat kita berhenti sejenak merenung dan menunggu. Mungkin semuanya itu adalah resep yang mujarab untuk meraih kesenangan sementara, yang sekilas, dan bahkan meragukan, penuh ketidakjelasan. Untuk sebagian orang, menunggu berarti menunggu sebuah cinta, menunggu seseorang untuk datang masuk dalam kehidupannya. Penungguan itu adalah sebuah misteri yang akan terus menerus berhembus tanpa tahu kapan sesuatunya menjadi jelas. Siapapun yang pernah mencintai akan tahu betapa nikmatnya melakukan sebuah penungguan, nikmatnya melakukan penungguan untuk memberikan kesempatan kepada cinta untuk tumbuh dan berkembang menguasai hati, mencermati kuncupnya yang mulai mekar dan menyemerbakkan harumnya ke dalam setiap sudut ruang hati. Mengapa sebuah penungguan menjadi begitu penting? Mengapa tidak bisa kita memaksakan sekarang saja? Atau Dua tahun lagi? Tiga tahun lagi? Lima tahun lagi? Yang tampaknya menunggu hanya pekerjaan yang sia-sia dan membuang begitu banyak waktu? Akan tetapi lihatah, alam telah mengajarkan kepada kita dan menunjukkan berapa lama pohon harus menunggu untuk berbuah, berapa lama benih harus menunggu untuk menjadi bunga, berapa lama sebutir pasir menunggu menjadi mutiara, berapa lama bangkai menunggu untuk menjadi minyak bumi, berapa lama karbon menunggu untuk menjadi berlian, dan berapa lama butiran air menguap dan berkumpul untuk membentuk sebuah pelangi. Tidak ada jawaban yang sederhana, namun tidak lebih dari karena memang semuanya itu harus terjadi: harus mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang yang anda cintai karena kita atau mereka telah membuat komitmen lain, atau karena mereka harus tumbuh dan menemukan makna kehidupan mereka sendiri, meninggalkan diri kita sendirian untk tumbuh menemukan jalan kita sendiri. Perpisahan, sama juga seperti sebuah penungguan, juga merupakan sakramen kehidupan manusia. Yang kita tahu adalah bahwa proses sebuah bunga untuk mekar sempurna selalu membutuhkan kesabaran menunggu. Kita memang harus merelakan waktu kita terbuang satu sama lain untuk menunggu. Tidak ada cara lain untuk kita dapat membuat orang lain benar-benar mencintai kita atau kita mencintai mereka, kecuali melalui waktu, penungguan. Jadi yang perlu kita lakukan hanyalah saling memberikan waktu kita yang berharga untuk menunggu tanpa membuat tuntutan atau meminta imbalan. Tidak ada yang lebih sulit dilakukan daripada ini. Hal ini merupakan ujian kedalaman dan ketulusan cinta kita. Akan tetapi sebuah penungguan tidak akan pernah sia-sia. Akan selalu ada sebuah kehidupan dalam sebuah penungguan, karena penungguan bukanlah suatu kematian, penungguan adalah sebuah proses kehidupan. Cinta memang harus menunggu satu sama lain untuk dapat melihat segala sesuatunya dengan cara yang sama. Sebelum itu semua tercapai mereka hanyalah diharuskan menunggu, dalam perenungan, bukan untuk membuang waktu, tetapi untuk berusaha saling hadir satu sama lain sampai yang tersisa hanyalah sebuah jalinan cinta yang berjalan searah. Apa yang kita korbankan ketika kita menolak untuk menunggu? Ketika kita mencoba untuk menemukan jalan pintas melalui kehidupan, ketika kita mencoba untuk segera menetaskan cinta dan bergegas membabi buta memaksakan segalanya ke dalam sebuah komitmen yang tidak matang? Ya, kita akan kehilangan harapan untuk mencintai atau dicintai dengan tulus, itu jika kita percaya bahwa cinta tulus memang benar-benar ada. Cobalah mengingat kembali semua kisah besar dalam sejarah dan sastra, bukankah kisah mereka sebenarnya dijejali dengan esensi misteri kehidupan yang rata-rata pernah terjadi dalam kehidupan kita, dan penungguan adalah sebuah proses yang harus dilewati untuk menuju akhir dari sebuah kisah? Bagaimana mungkin kita akan pernah menemukan esensi sebuah kehidupan dan cinta jika kita tidak cukup sabar untuk menunggu semuanya itu? Jadi jangan pernah tanyakan lagi mengapa kita harus menunggu. Ya, karena penungguan adalah misteri – sebuah sakramen abadi yang tidak terlepaskan dari kehidupan. Sebuah terjemahan sangat bebas yang terinspirasi dari tulisan James Donelan, S.J. (The Sacrament of Waiting). Isi sudah mengalami beberapa perubahan dan penyesuaian. Sumber foto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun