Saya tidak putus asa. Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi. – Tan Malaka (Pahlawan yang terlupakan), (Madilog, Hal 20)
Celoteh kecil revolusi
Kita orang – orang yang hidup di jaman enak, jaman yang dimana kamu mau punya ini itu serba bisa diakses asal kaki mau melangkah dari malasnya meninggalkan acara bodoh di televisi. kepedulian jadi barang mahal, cerita tentang pembantaian ISIS saja sampai-sampai jadi lelucon murahan. Teman-teman kelasku bahkan masih riuh dengan parodi yang tak berbobot, tapi aku harus jujur mereka baik hati sekali padaku, saat aku kelaparan mereka siap sedia meminjamkan beberapa ribu rupiah padaku.
setelah beberapa menit aku membaca LA POLITICA karya Aristoteles seorang filsuf raksasa yunani, saya menemukan kalimat menarik di buku pertama, ia berpendapat baginya kemiskinan adalah bapak dari “Revolusi”, sejak menginjak semester satu, minat terhadap bacaan yang berbau revolusioner telah menjangkit di otak dan hati, mungkin juga latar belakang sosialku yang keras dan kotor penuh menghinggap sesak di tiap-tiap tindak tanduku. Pertama kali mengenal Marx adalah saat aku bertukar buku dengan guru ngajiku sewaktu duduk di bangku Sma kelas 1 kalau tidak salah ingat. Buku yang berjudul 100 Tokoh yang paling berpengaruh di dunia, ditulis Michael H. Hart. Revolusi menjadi kata yang seringkali terucap dari mulutku, baik sedang bergurau atau serius berdiskusi di warkop, trotoar jalan atau diruang kelas formal. Sadar betul tentang sejarah penggulingan komunis oleh kaum democrat kapitalis pada perang dunia ke-2 tak menyurutkan perasaan dan logikaku, bahwa kenyataan tentang kemiskinan dan ketimpangan masihlah menjadi topik utama.
Kemiskinan yang saya maksudkan bukan semerta-merta tentang kebutuhan biologis, tapi juga kemiskinan akan moral, budaya asli, dan lapar akan nilai-nilai universal, semisal para supporter kapitalis yang telah dibutakan hatinya dan sedikit memperhatikan apa yang di ajukan oleh Milton friedman, tentang bahwa pasar bebas juga tak seharusnya bebas dari pengawasan pemerintah, mungkin jurang pemisah antara si kaya dan si miskin tak begitu curam adanya. keadaan ini diperparah dengan alam yang setiap harinya menangis sebab di eksploitasi oleh jalang-jalang tak bernurani.
Suara parau dari hati terdalam
Menjelang tiga bulan berkerja di salah satu monster kapitalis Pizza Hut Delivery. sebagai kurir pizza saya merasa perlu untuk menyempurnakan pengamatanku tentang pola kerja dan bagaimana sistem didalamnya. Belajar dari Anthonio Gramsci, bahwa Kesadaran adalah bersifat otonom dan kesadaran dapat dimanipulasi. Saya menarik diri dari kondisi yang memang kebutuhan ekonomi menjerat demi melanjutkan studi kuliahku. Saya mengamati dengan sabar bagaimana mereka teman-teman pekerja baik didalam kantor dan tim produksi. Mereka mengindahkan semua mekanisme dan sistem kerja mereka sebagai sebuah aturan sempurna yang dibuat oleh para professional dan dianggap kebaikan yang benar.
Walau ada salah satu buruh yang berkeluh kesah kepada saya tentang perasaanya yang tafsirkan sebagai bentuk alienasi. Ukar namanya, dia adalah gitaris dari sebuah band kecil dan sebagaimana pemusik lainya, kebutuhan akan inspirasi dan memproduksi musik butuhlah waktu dan ketenangan jiwa dan raga, waktu kerja yang mengikat sampai 8 jam, dan selama hampir delapan jam ia berkendara untuk mengantarkan pesanan kerumah-kerumah orang kaya yang siap memiskinkan kita, sekalinya ia kembali ke outlet bertemulah ia dengan tumpukan perabotan kotor, tentu saya juga merasakan ketimpangan ini, karena ukar dan saya berada pada kategori yang sama didalam perkerjaan, hanyalah saya secara intelektual membebaskan diri dari penindasam ini, dan ukar mengurung diri dalam kungkungan kapitalis yang merenggut shycis dan kesetaraan sosialnya, bahkan sekali waktu saya mendapati sebuah percakapan biasa dari ruang kantor tentang olokan mereka bahwa kita masihlah delman belum naik pangkat jadi Shift leader ataupun Official Manager. Sekelebat hal ini menyadarkanku bahwa kita manusia, hamba dari segala yang merajai segala raja, terkadang lupa dan dibuat lupa, kalau kita adalah kesamaan dan entitas bahkan dengan gelas plastik yang setiap harinya banyak dibuang sembarang di tepi jalan sehingga banjir mencuri kenyamanan hidup. Banyak yang terjebak oleh slogan-slogan tv, internet, stiker di spakbor motor, tembok-tembok jalan, film, potho, lagu dan media lainya.
Kesetian kita terhadap kesetaran dan keharusan moral kita untuk melihat manusia sebagai manusia, tanpa perasaan lebih tinggi atau superior dari lainya. Apakah mereka-mereka yang dunianya sesempit tongkrongan di gang kecil itu, harus kita diamkan dan kita olok-olok dengan kata Jamet, bateng, kuproy, cabe-cabean sambil kita tertawa terbahak-bahak dan menepuk dada bahwa kita yang lebih keren, lebih mampu, lebih a,b,c,d dan sebagainya.. di suatu malam selepas menonton berita tentang bimbangnya mahkamah agung untuk mengeksekusi Mary Jane salah satu terpidana narkoba, terdengar suara yang begitu kering dan teramat parau dari kejauahan hati ini, hati yang entah sampai kapan bisa memenangkan logika yang kian liberal, berkata hati dan ia menawarkan barisan-barisan kalimat yang aku sendiri tak ingin percaya, apakah ini setan atau malaikat yang salah report dari tuhan. Kembalilah kita kepada kejujuran hati, kembalilah kita pada kemurnian dan jangan sekali-kali kita berbuat kerusakan diantara apapun, karena setinggi apapun monument ilmu pengetahuan berdiri, hatilah tempat kita kembali, hatilah tempat kita bersandar mencari cahaya yang sering kali redup diterpa angin kemunafikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H