Mohon tunggu...
Avila Dwiputra
Avila Dwiputra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Pluralis, independen, blues music lover!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PNS Yang Bersih Itu, Seperti Ayah Saya!

8 Juli 2011   08:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1310113699960677803

[caption id="attachment_118276" align="aligncenter" width="200" caption="Sosok PNS dan kehidupan yang dijalani sebenarnya. Ayah yang menjadi panutan bagi anak-anaknya."][/caption] Bukan mau sok mengagungkan orang tua sendiri. Tapi, itulah kenyataan sebenarnya, bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bersih dan baik, itu dicontohkan oleh ayah saya sendiri. Ayah adalah pensiunan PNS dari sebuah dinas pemerintahan di Bandung, sudah sekitar 5 tahun, ia berhenti mengabdi pada negara. Sebagai seorang PNS, hidup keluarga kami tidaklah semenarik dan menyenangkan, seperti yang dibayangkan banyak orang yang berebut mengikuti tes CPNS. Meski pada masa pengadiannya, ayah selalu mempunyai banyak proyek, yang sering membuat waktunya kurang bagi keluarga. Namun, dari segi penghasilan, tidaklah besar, karena proyek yang adapun berasal dari dinas tempat ia mengabdi. Walau begitu, ayah selalu dapat mengajak keluarganya bersenang-senang, meski bukan liburan ke luar negeri atau makan di restoran bintang 5. Libur ke puncak atau sekitar Jawa Barat, menjadi agenda kami tiap pekan. Tapi, semuanya itu masih kalah dengan yang dilakukan kawan-kawan sekantornya. Keluarga teman sekantornya selalu berpergian dan berbelanja mewah. Di saat, teman-temannya memiliki mobil keluaran terbaru, ayah setia kepada mobil tuanya, bahkan ke kantor sering menggunakan bus atau angkutan umum. Cobaan datang saat ayah mengalami serangan jantung dan harus dioperasi, butuh biaya banyak membuat keluarga berhutang ke sana kemari, untung keluarga besar ayah bersedia membantu. Syukurlah, operasi berhasil dan ayah diperbolehkan pulang. Namun, efeknya adalah ayah dilarang untuk bekerja dengan keras. Dasarnya keras kepala, setelah sembuh, ia kembali bekerja keras demi membahagiakan keluarganya. Pulang malam, lembur menjadi rutinitas dirinya setiap hari. Singkat cerita, meskipun ayah telah bekerja keras, tidak mengubah hidup kami lebih baik. Rumahpun hingga kini tetap ngontrak, mobil tua dan kehidupan biasa saja. Bahkan untuk biaya pengobatan ayah, walau kantor tetap memberikan melalui ASKES, tidaklah cukup. Orang yang berniat menjadi PNS karena mengincar tunjangan, khususnya pensiun, harus berpikir panjang. Walau tidak dipungkiri, saya menyelesaikan sekolah karena tunjangan pendidikan. Namun, semua itu akan hilang ketika kita berhenti bekerja. Dana hari tua yang didapat ayah, yang kami anggap besar pada jaman dulu, kini untuk makan sebulanpun tidaklah cukup! Bahkan ibu harus kembali bekerja demi mendapatkan tambahan biaya hidup. Ada jawaban menarik, ketika ayah ditanya oleh saya, mengapa dirinya tidak kaya atau semakmur pegawai lainnya? Ia menjawab dengan enteng, "Emang kamu mau sakit perut tiap hari? Makan enak, tapi tiap hari dikeluarin terus." Dan komentar menarik lainnya dari dirinya. "Banyak yang nawarin (proyek atau menyuap), cuma Papa ga mau. Emang kamu mau hidupnya ga tenang tiap hari?" Sampai hari ini saya masih berpikir soal komentar ayah tersebut, ada yang bisa bantu menerjemahkan kata-kata itu? Namun, setelah melihat kenyataan dan sistem birokrasi sekarang, perbuatan yang dilakukan ayah, walau melawan sistem, menimbulkan kebanggaan pada diri saya. Meski ayah sering tidak punya uang dan merengek meminta pada saya atau ibu, serta sempat membuat saya berpikir "kenapa sih papa ga ngikutin sistem?", semua itu sirna setelah melihat kehidupan kami yang jauh lebih tenang. Jadi, kalau memang PNS itu baik dan bersih, tunjukkan pada saya! Karena inilah kehidupan PNS yang sebenar-benarnya dan tidak mengikuti sistem yang berlaku. Saya baru menemukan contoh tersebut pada diri ayah saya. Ada yang lain? Salam PNS...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun