Pupus sudah kesempatan Indonesia berlaga di ajang Piala Dunia U-20 2015 di Selandia Baru. Kekalahan dari Australia dalam putaran grup Piala Asia U-19, Minggu (12/10/2014), membuat Tim Nasional U-19 harus angkat koper dan melupakan impian mereka bersaing dengan tim kelas dunia. Saya tidak ingin menyalahkan PSSI yang terlalu membangga-banggakan Timnas U-19. Apalagi media massa, khususnya TV, yang terlalu mengekspos mereka. Evan Dimas dkk. gagal karena kesalahan mereka sendiri.
Mengapa saya berani mengatakan itu? Bukan tanpa alasan. Mencermati dua pertandingan, para pemain timnas yang berusia muda masih sering egois, tipikal remaja. Itu terlihat dari sebagian pemain, contohnya Ilham Udin Armayn atau Dinan Javier, yang bila mendapat bola selalu membawa sendiri dan mencoba menusuk ke dalam kotak penalti. Di satu sisi, ada rekan yang bebas atau telah membuka ruang yang berpotensi besar menciptakan gol. Skill yang masih mentah membuat para pemain belakang mudah menutup ruang dan menggagalkan penetrasi pemain kita.
Kemudian, visi permainan para pemain Indonesia yang masih kurang. Terbukti saat memasuki daerah pertahanan lawan, para pemain timnas kebingungan untuk memutuskan, apakah mengoper, mencoba pentrasi atau menembak langsung ke gawang lawan. Terlambat mengalirkan bola saat melakukan serangan juga menjadi kelemahan anak asuh Indra Sjafri yang membuat lawan dapat mengatur pertahanan mereka. Kematangan bermain dicontohkan Łukasz Piszczek, bek sayap Borussia Dortmund dan Timnas Polandia, saat melawan Jerman, Minggu dini hari. Menerima umpan dari rekannya, Piszczek yang berada di sisi kanan melihat Arkadiusz Milik yang telah berlari ke depan gawang Manuel Neuer, langsung memberikan umpan silang, sehingga menjadi gol pertama Polandia. Tapi, untuk kasus pemain U-19, mereka lebih mencoba membawa bola dan menusuk sendirian yang berujung kegagalan.
Unjuk skill selalu dilakukan para pemain Timnas Indonesia, apa daya kesalahan para senior yang seharusnya dihilangkan malah ditiru. Selain itu, banyak pelanggaran yang dilakukan juara Piala AFF U-19 tersebut, itu dikarenakan wasit kita sangat permisif terhadap pelanggaran yang di kompetisi tingkat dunia dianggap berat. Sehingga membuat para pemain kita terlena yang memunculkan teror dari bola mati. Beberapa kali serangan set-piece lawan, baik tendangan bebas maupun tendangan sudut, merepotkan pemain kita.
Faktor lainnya adalah, tidak adanya pemain berpengaruh seperti Robert Lewandowski. Lewandowski dijadikan kapten bukan karena ia pemain terkenal di negaranya, tapi spirit bermain yang ditunjukkan Lewi, sapaan akrabnya, membuat para pemain lain terpacu. Lewi mau turun ke bawah untuk menjemput bola dan membuka ruang bagi rekannya, tapi bisa tiba-tiba berada di mulut gawang memberikan ancaman bagi musuh. Evan memang kapten, skill dan visinya di atas rata-rata, hanya saja belum memiliki pengaruh kuat.
Saya tetap memuji perjuangan Timnas U-19 di Myanmar, yang bertanding penuh semangat. Meski kalah, mereka tidak memperlihatkan "kalah sebelum bertanding". Semangat yang harus tetap dijaga demi kemajuan sepakbola kita. Untuk PSSI dan klub-klub Tanah Air, harus menampung para punggawa Garuda Jaya, agar mereka tertempa di sebuah kompetisi yang membuat mental mereka lebih terasah dan semakin matang. Timnas yang hebat adalah timnas yang terbentuk dari kompetisi bagus dan itulah tugas PSSI ke depan!
Bravo, Timnas U-19! Perjuangan kalian masih panjang...tetap semangat!!