Hawa malam bulan purnama
Lakon bidadari melukis pelangi
Tersampaikan lewat folklore beriring lantunan eufoni
Memaksa ketimpangan untuk tetap bersamaÂ
Kisah tentang warna-warni
Terkurung dalam satu sangkar
Hakikat bahwa kita adalah satuÂ
Folklore kita terngiang di udara
Bersama angin musim panas
Mengantar gugurnya dedaunan
Tapi kita tetap tunggal
Sejak lama ingin kusampaikan
Tentang kita yang terkubur lama
Rantai pengikat jiwa heterogen
Membentang, antara titik-titik warna pertiwi
Warna-warni gagasan
Lahirkan ragam jiwa
Berbarislah, wahai kubu dengan damai
Kita dalam satu, keragaman
Disatukan dalam perbedaan
Saling merangkul masing-masing tombak
Berpijak pada dasar yang sama
Berteduh di bawah satu langit
Folklore kuno disampaikan malam itu
Tentang kita dalam warna tak sepadan
Angkuh, tak sanggup menggenggam
Jiwa kita bertabrakan, seakan enggan disatukan
Caramu berlebihan! Primodialis
Mencintai bukan begitu
Tak seperti batin terisak tatkala tertawa
Fakta bahwa jiwa dan raga adalah satu
Acuan agar pondasi ini selalu utuh
Tapi kita tetap angkuh
Etnosentris membangun benteng
Saling menutup, larut dalam emosi
Cinta kita melahirkan mesin pembunuh
Karena pelangi oleh bidadari
Tak seindah folklore yang disampaikan malam itu
Berpikir kisah kita pembodohan
Primodialis menukar warna yang dulu
Mencintai bukan begitu
Bisikkan dengan indah folklore kuno
Meski berteriakpun ia takkan mengerti, kutahu itu
Sentuhkan padanya, tentang kedamaian
Agar ia tahu kehangatan
Warna melahirkan ragam jiwa
Bersatulah barisan kubu dengan damai
Akan kusampaikan bagian yang hilang dari kisah kita
Para bidadari yang melukis pelangi
Warna kita yang dulu, folklore Ibu Pertiwi