Mohon tunggu...
Matheos Viktor Messakh
Matheos Viktor Messakh Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Wartawan dan penulis, tinggal di Leiden (http://matheosmessakh.blogspot.nl/)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bocah Bergelantungan di Roda Pesawat dan Selamat

17 Februari 2013   23:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:08 7751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_243920" align="alignleft" width="300" caption="Bas Wie di atas roda pesawat DC3 pada tahun 1992 [http://cowbird.com/story/33637"][/caption] Kisah ini terjadi tahun 1946, ketika seorang anak berusia 12 tahun melakukan aksi nekad menyelinap ke dalam kompartement roda pesawat C-47 milik Angkatan Udara Belanda yang akan berangkat dari Kupang ke Darwin. Pada tahun itu sebuah kontingen khusus militer Australia yang disebut Tim Force sedang berada di Kupang, Timor dalam rangka sebuah operasi pembersihan pasca perang dunia Kedua. Bas Wie, anak itu, adalah seorang anak yatim yang meliwati masa sulit pendudukan Jepang dan akhirnya bekerja sebagai pekerja kasar pada dapur bandara Kupang waktu itu. Tak ada yang menginginkan anak Sabu ini.

Namun ia juga mengingat masa-masa indah sebagai seorang anak bekerja di dapur bandara itu dimana para prajurit Australia biasa memberinya gula-gula, daging, membawanya di jeep atau truck mereka atau bahkan mendapat bola dari mereka. Sebuah perhatian yang dibutuhkan seorang anak yang berusia sekitar 12 tahun.

Pada satu malam di bulan Agustus 1946 saat ia sedang merawat memar di perutnya,--karena ia sering ditendang oleh koki bandara, ia mendengar sebuah percakapan di hall bandara bahwa pesawat Angkatan Udara Belanda C-47 yang sedang parkir di luar akan berangkat ke Australia. Ia mencoba menyelinap ke pesawat tersebut tapi pintu pesawat terkunci. Saat mengintari pesawat mencari tempat bersembunyi ia menemukan dua rongga nacelle yang menutup ban pesawat jika pesawat telah tinggal landas. Ia memanjat, berjongkok di atas salah satu rongga itu, berharap tidak ditemukan oleh petugas. Beberapa menit kemudian para crew kembali dan pesawat itu pun berangkat lagi. Saat pesawat menyapu landasan pacu, mimpi buruk Bas dimulai. Di dekatanya pipa knalpot menyemburkan api orange. Pendingin baling-baling menghantam baju kemeja tipisnya, tapi kemungkinan ini menyelamatkannya dari asap mesin. Berjuang dalam kepanikan, ia merayap ke satu-satunya tempat di mana ia bisa selamat - sebuah ruang berukuran 10 x 20 inchi antara tangki bahan bakar dan pipa knalpot. Saat ia panik melingkar dirinya, ban pesawat yang mulai masuk menghantam dirinya dan sebuah besi memotong bahunya menyebabkan luka besar. Berdarah, hangus oleh api dan kedinginan oleh prop pencuci, untungnya ia kehilangan kesadaran.  Selama tiga jam tubuhnya terjepit dalam struk itu dan bahkan tubuhnya tidak jatuh ketiga ban keluar lagi saat pesawat mendarat. Ketika para crew menemukannya ia "tergantung di sana" dan tampaknya hampir mati. Pada tahun 2004 saat di wawancarai Murray McLaughlin dari Australian Broadcasting Corporation (ABC), Bas Wie mengaku bahkan tak tahu ke mana pesawat itu akan berangkat. "Saya tak tahu ada negara lain di luar sana, sungguh, dalam usia seperti itu, anda pasti mengerti," katanya. "Tak ada yang melihat, saya langsung melompat ke atas dan bergelantungan," Bas menjelaskan bagaimana ia bisa naik ke roda pesawat. "Mereka mulai bertolak dan ban mulai naik dan saya mulai kehabisan ruang, ruangannya makin sempit dan sempit -- tidak ada lagi tempat.  Saya mencoba berteriak tapi kemudian saya pikir percuma saja karena mereka tak akan mendengar."

Menurut pilot Angkatan Udara Belanda, Jan Sjouw, yang menerbangkan pesawat DC3 itu, mereka mengalami masalah selama penerbangan: Pemanas kabin tidak akan bekerja tapi ia terus saja melaju.

Menurut Jan, yang kemudian bertemu kembali dengan Bas di tahun 1978, sebelum mendarat di Darwin pesawat ini harus menunggu giliran untuk mendarat. Roda pesawat telah diturunkan sebelum waktunya pada ketinggian sekitar 1500 kaki. Untunglah anak ini tak jatuh. Hari telah gelap ketika pesawat C-47 itu mendarat di landasan RAAF (Royal Australian Air Force)] di Darwin. Petugas jaga malam itu Jim Fleming mengecek pesawat yang singgah itu. "Saya mengarahkan lampu senter saya ke atas dan nampak seorang anak, tergencet di dinding pemisah pesawat," kata Jim Fleming yang sekarang adalah pensiunan Vice Marshal Angkatan Udara. "Separuh tubuhnya terutama bagian belakangnya terbakar parah oleh knalpot pesawat dimana ia bersandar, sedangkan separuh tubuhnya membeku. Tapi benar-benar tidak sadarkan diri. Biji matanya sudah terbalik sehingga yang nampak hanya kedua bola matanya yang ptuih, saya pikir dia sudah meninggal." Dalam keadaan tak sadarkan diri, sebagian tubuhnya terbakar dan luka besar menganga, Bas dilarikan ke rumah sakit. Selama kurang lebih tiga bulan para dokter dan perawat di Rumah sakit Darwin merawat anak yang kemudian dikenal oleh semua orang dengan "the Kupang Kid." Namun, selamat dari maut di roda pesawat bukan akhir dari semua duka Bas. Kepastian tinggalnya di Australia menjadi persoalan. Pemerintah Australia saat itu yang mempunyai kebijakan "keep Australia white" yang membatasi imigran Asia, segera mengumumkan bahwa segera setelah anak ini sembuh ia akan dikirim pulang ke Kupang. Warga Darwin membombardir Mentri Imigrasi dengan protes. "Anak dengan keberanian seperti itu," kata salah satu pemrotes, "butuh dukungan." Karena tekanan ini, pemerintah memberikan bocah ini sertifikat pengeculaian selama setahun yang disebut Permit of Entry. Sertifikat yang dikeluarkan oleh Departemen Imigrasi ini harus diperbaharui tiap tahun dan kapan saja bisa dibatalkan oleh Kementrian Imigrasi. Nasib Bas tergantung pada tangan Mentri Imigrasi saat itu Arthur Calwell. Walaupun kemudian Calwell dikenal sebagai arsitek dari program migrasi pemerintah Australia pasca perang, Calwell punya reputasi sebagai kelompok garis keras dalam parlemen Australia karena kegigihannya untuk mendeportasi orang Indonesia yang mencari suaka di Australia selama perang. Rupanya ketika Bas berada di rumah sakit, Administratur Darwin saat itu Arthur R Driver telah bernegosiasi dengan Mentri Calwell agar Bas tetap diperbolehkan tinggal di Darwin. Calwell setuju asalkan Bas berada dibawah pengawasan Driver. Driver sendiri memberinya tinggal di sebuah rumah penginapan milik pemerintah (Goverment House) dan ia disekolahkan. Sebagai balasanya, Bas bekerja di sekitar kediaman resmi sang administratur dan setiap hari Natal ia menghadiahi sang administratur dengan sebuah miniatur kapal laut yang ia ukir sendiri. "Saya dirawat seperti anak mereka sendiri, dan bagi saya mereka seperti orang tua kandung saya, -- sangat baik", kata Bas mengenang masa-masa bekerja di rumah Driver. Bas kemudian juga bekerja pada Eric Izod pemilik Izod Motor dan ia membawar sewa perumahan milik pemerintah itu dengan gajinya. Keberanian bocah 12 tahun dari Kupang ini menjadi headline di berbagai media saat itu, bahkan sampai beberapa tahun setelah kejadian itu. Pada tgl 20 Juli 1951 ketika Arthur R Driver telah meninggal, koran Northen Standard melaporkan tentang Bas yang diperkirakan berusia 16 tahun pada saat itu. Karena ketiadaan dokumen, usianya ditentukan dengan perkiraan. Majalah Time pun melaporkan tentang kisah ini pada edisi 7 Juli 1958. Pada tahun 1978, Bas dan keluarganya menjadi topik utama dalam program TV This Is Your Life. Ketika Northen Standard melaporkan tentang Bas di tahun 1952 sehubungan dengan ketidakpastian tinggalnya, ia saat itu telah bekerja pada toko milik RAAF. Ketidakpastian tinggalnya Bas ini menjadi topik di Australia dan Arsip Nasional Australia sekarang menyimpan ratusan halaman dokumen berkaitan dengan kasus Bas ini. Sejumlah dokumen ini, terutama pemberitaan koran, bisa diakses secara online. Ketika terjadi pergantian administratur, sepasang suami istri dari Darwin mengadopsi Bas. Orang Inggris yang mengadopsinya itu menikah dengan seorang perempuan native Australia dari Larrakia bernama Bertha Cubillo. Bertha adalah keturunan campuran Aboriginal dan Filipina. Bas kemudian mendapat pekerjaan sebagai klerk pada Commonwealth Works Department. Di sanalah pada usia 24 tahun ia bertemu seorang gadis cantik dari Perth bernama Margaret. Mereka bertemu pertama kali pada bulan Februari 1956 ketika Margaret bekerja sebagai seorang junior draftwoman pada bagian surat-surat masuk pada the Department of Works and Housing. [caption id="attachment_243921" align="alignleft" width="300" caption="The Kupang Kid dan istrinya [sumber: http://www.ntnews.com.au"]

13611432471344738121
13611432471344738121
[/caption]"Ia membawa surat ke meja saya - mengantarnya secara  khusus," Kata Margaret. "Bagi saya, itu semacam cinta pada pandangan pertama." Setelah 18 bulan berpacaran, keduanya menikah di sebuah Gereja Katholik di Smith Street di mana Bas pernah bekerja sebagai seorang anak altar. Upacara pernikahan di gereja kecil ini, diikuti oleh resepsi terang bulan di halaman belakang rumah di Fannie Bay. Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, tepatnya pada bulan July 1958 saatmajalah Time melaporkan tentang Bas, sebuah keberuntungan lagi menghampiri hidup pemuda ini: ia akhirnya menerima permanent residence yang telah lama ia tunggu. Penerimaan ini merupakan sesuatu yang sangat langka dalam kebijakan imigrasi Australia saat itu yang sangat anti Asia. The Kupang Kid akhirnya menerima surat-surat naturalisasinya.  "Kami bangga," kata salah seorang pejabat seperti yang dilaporkan majalah Time, "mempunyainya sebagai seorang Australia." Bas dan istrinya kini telah pensiun dan mereka mempunyai lima anak dan telah mendapatkan tujuh orang cucu. Pada ulang tahun perkawinan mereka yang ke 70 pada tanggal 8 Desember 2007, wartawan Australia Daniel Bourchier menulis tentang pasangan ini dengan judul : "Kupang Kid marks a marriage half century." Sejarah hidup Bas Wie kini tertulis dalam sejarah Northern Territory. Cerita hidupnya adalah cerita seorang survivor yang hebat. Seperti katanya istrinya, Margaret: "Ia punya ketetapan hati yang besar untuk melakukan sesuatu yang telah ia tetapkan dalam pikirannya, dan sedikit semangat gambling, untuk mengambil resiko." Anak laki-laki Bas, Trevor, mengenang bagaimana Bas menjawab jika orang menanyakan luka besar di punggung ayahnya. Trevor mengingat di tahun 1960-an di mana Darwin adalah tempat yang enak untuk bermain bola sambil bertelanjang dada. Saat bermain di lapangan Trevor biasa mendengar anak-anak bertanya, “Mr Wie, Mr Wie. What's that mark on your back?"

"Oh, a butterfly landed there.", adalah jawaban satu-satunya jawaban yang biasa ia berikan, kenang Trevor.

“Itulah Ayah bagi anda” kenang Trevor. “Dihantam oleh sebuah ban yang berputar. Diberkati oleh keberuntungan. Hangus di satu sisi, beku di sini lain. Selalu murah hati.”

“Saya tak pernah mendengarnya mengatakan sesuatu hal yang jelek tentang siapapun. Orang-orang baik telah berjuang baginya agar ia tetap tinggal di Darwin.”

Menurut Trevor sikap Bas ini adalah bagian dari penghargaan Bas terhadap orang-orang baik yang telah berani melawan kebijakan 'Keep Australia White' pada masa itu untuk membela ayahnya agar tidak dideportasi.

Ya, hanya mereka yang pernah merasakan kemurahan Allah yang begitu nyata dan besarlah yang selalu mensyukuri apa yang mereka punya tanpa mengeluh. Benar, sebuah kupu-kupu telah hinggap di pundakmu om Bas, dan itulah yang telah membuatmu menjadi seorang ayah, suami, kakek yang membanggakan. “Selalu murah hati” seperti kata anakmu.

[Dirangkum dari berbagai sumber]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun