Bulan Februari 2021 pasar saham dihebohkan dengan meroketnya saham-saham bank mini. Salah satu penyebabnya adalah isu terkait bank digital, bahwa bank-bank mini akan disulap menjadi bank digital. Saat ini euforia saham bank mini sepertinya sudah mereda tetapi topik mengenai bank digital masih menjadi bahasan yang menarik. Meski saat ini ada beberapa bank digital yang sudah aktif, OJK sendiri masih menggodok peraturan terkait bank digital yang rencananya akan dikeluarkan di tahun 2021 ini.
Bank digital adalah produk perbankan yang menyediakan layanan yang sepenuhnya dilakukan secara online atau daring, mulai dari pembukaan rekening sampai pengelolaan rekening dan segala aktivitas perbankan lainnya. Kemunculan bank digital salah satunya didorong dan ditopang oleh kemajuan teknologi seperti internet cepat, gawai pintar, dan algoritma otentikasi dan otorisasi yang semakin pintar. Dengan menyediakan layanan perbankan yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja, bank digital menawarkan kemudahan dan efisiensi.
Namun sebenarnya untuk siapa bank digital hadir?
Dalam publikasi yang dikeluarkan oleh OJK di tahun 2013 yang berjudul "Indonesian National Strategy for Financial Literacy", indeks literasi produk perbankan menunjukkan 75,43% masyarakat Indonesia punya pengetahuan yang cukup, sementara 21,80% masyarakat punya pengetahuan yang baik mengenai produk perbankan. Meskipun demikian, indeks utilitas produk perbankan hanya 57,28% yang artinya hampir separuh penduduk Indonesia tidak menggunakan produk perbankan.Â
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi indeks utilitas produk perbankan misalnya saja, seperti yang telah disebutkan di atas, tingkat pengetahuan masyarakat tentang produk perbankan itu sendiri. Salah satu faktor lainnya adalah ketersediaan. Ketersediaan adalah isu utama dalam konsep keuangan inklusif. Merujuk dari Wikipedia, keuangan inklusif didefinisikan sebagai ketersediaan dan kesempatan yang sama untuk mengakses layanan keuangan. Dalam isu ketersediaan, bank digital bisa menjadi solusi yang layak, meski masih harus didukung oleh aspek-aspek lain seperti infrastuktur internet misalnya.Â
Lalu mengapa perlu mempertanyakan bank digital untuk siapa? Bukankah bank digital akan bisa digunakan oleh siapa saja?
Benar memang. Namun, bisa digunakan oleh siapa saja bukan berarti siapa saja mampu menggunakan.
Dalam digital product management, identifikasi pengguna adalah poin yang sangat penting karena dapat menentukan arah pengembangan produk.Â
Beberapa waktu lalu akun Instagram @designrant mengkritisi salah satu aplikasi bank digital yang menggunakan istilah tidak umum untuk menu layanan perbankan. Hal itu disinyalir karena branding produk tersebut menyasar kalangan anak muda yang notabene akrab dengan internet dan teknologi.Â
Jika penggunaan istilah tidak umum saja bisa menimbulkan kebingungan bagi mereka yang familiar dengan layanan perbankan, tentu semakin masalah jika digunakan oleh orang yang tidak berpengalaman. Itu adalah salah satu contoh bagaimana identifikasi pengguna menentukan arah pengembangan produk. Tidak terbatas pada desain visual saja, tetapi juga hal lain seperti fitur atau bahkan mungkin tarif layanan.
Pada akhirnya pertanyaan "bank digital untuk siapa?" hanya bisa dijawab para stakeholder bank digital tersebut. Apakah akan bersaing untuk menjadi pilihan generasi muda? Atau apakah akan menjadi solusi untuk layanan perbankan yang lebih terjangkau? Atau bahkan mungkin ada misi yang lain? Tulisan ini hanya ingin menyampaikan bahwa kemunculan bank digital bisa menjadi momen untuk membuka salah satu jalan menuju keuangan inklusif di Indonesia.