Saya memang pelit memberi label “bagus” untuk permainan Indonesia. 2 kali menang besar, saya hanya menyatakan Indonesia bermain lebih baik dari lawan. Indonesia mampu mengambil keuntungan dari kesalahan lawan.
Bukan apa-apa, jujur saja. Timnas Indonesia memang belum mampu bermain bagus. Umpan yang sering salah sasaran, koordinasi lini belakang yang berantakan dan stamina yang terkesan dipaksakan hingga beberapa pemain mengalami kram.
Tentu saja, bermain tidak bagus bukan berarti tak bisa menang. Lagi pula kesalahan elementer timnas dan pemainnya bukan tanggung jawab mereka semata, tapi kesalahan kolektif (baca: liga).
Melawan Thailand kemarin malam, kita bisa melihat bagaimana lawan bermain begitu baik. Terutama dalam hal organisasi permainan, pressing dan rotasi posisi antar pemain. Saya begitu iri mengapa Indonesia tak bisa bermain seperti Thailand. Aliran bola berjalan rapi, tenang dan terstruktur. Nyaris tak terlihat ada bau spekulasi dalam bangunan serangan mereka.
Kita harus mengakui Thailand punya permainan setengah level di atas Indonesia. U-23 mereka pun hanya kalah 0-1 dari Jepang di Asian Games kemarin dulu.
Itulah yang saya sebut sebagai nafas dasar sepakbola yang benar. Soal hasil, tentu terkait taktik dan strategi. Beruntunglah, untuk masalah lanjutan dalam permainan sepakbola itu, Thailand sedang jelek. Bryan Robson cuma punya nama besar sebagai bekas kapten Manchester United dan Inggris. Sebagai pelatih Thailand, kemampuannya hanya setara pelatih pemula.
Dalam faktor pelatih, Indonesia unggul. Alfred Riedl menunjukkan kapabilitasnya menangani timnas. Rield sebenarnya membuat kekeliruan dalam hal starter (menurut kacamata saya). Misalnya, Irfan Bachdim yang ternyata sedang nge-drop. Ingat, awalnya sudah berkembang wacana bahwa duet striker akan diisi oleh Bambang Pamungkas (BP) dan Yongki. Mungkin saja Bachdim kaget karena batal diistirahatkan. Secara mental, bisa jadi dia tak siap.
Kekeliruan Riedl lainnya, memainkan Toni Sucipto yang spesialis pemain sayap di posisi tengah. Eka Ramdani juga tak berkutik melawan kegesitan, kedisiplinan dan kepintaran Rangsan Vivatchaichok. Namun demikian, sepakbola adalah hal yang dinamis. Riedl menyadari kekeliruannya. Dia mampu mengubah permainan Indonesia menjadi lebih baik di babak kedua. Itu sudah diperlihatkannya di 2 laga sebelumnya. Indonesia selalu bermain lebih baik setelah turun minum. Dari 13 gol Indonesia dalam 3 pertandingan, hanya 4 gol yang tercipta di babak pertama. Seluruh pergantian pemain yang dilakukannya pun tepat dan efektif.
Saya angkat topi untuk Ridle dan stafnya. Dalam segala keterbatasan pemain timnas, dia mampu mengoptimalkannya. Ini masih setengah jalan, tapi Ridle memberi harapan pada penggila sepakbola negeri ini.
Berikutnya yang patut dipuji adalah BP. Bintang timnas ini menunjukkan kekuatan mental bajanya. Bukan hal mudah mengambil penalti. Apalagi dalam 2 situasi krusial. Melalui akun twitternya, BP mengatakan dirinya lelah secara mental meski fisiknya bugar setelah bertanding tadi malam. Dan kemenangan Indonesia tadi malam memang dipengaruhi oleh BP, dia menularkan semangat kepada rekan-rekannya. Jangan lupa, BP berkarakter kapten tim.
Namun kemenangan kemarin justru berkat penonton. Teriakan 65 ribu penonton untuk “Merah Putih” sungguh efektif. Para pemain timnas “terbakar”. Saya pribadi tergetar, padahal saya sudah sering masuk stadion Senayan.