" Aku hanya melihat bayanganku dan dibaliknya hanya ada bentangan luas kampuang ini,bu" Aku polos menjawab.
" Begitulah hati berkata, nak. Melihat dirimu hanya sekedar bayangan,namun dibalik itu kau punya hati yang luas, menguasai luasnya bumi ini. Jadilah seperti jendela kaca,nak. " Â Ibu berkalimat takzim, lalu perlahan beranjak pergi.
***
Angin berhembus malam ini, aku menatap binar di balik jendela kaca. Mengingatkanku akan kejadian 10 tahun silam, dimana untuk terakhir kalinya ibu berbicara padaku. Usiaku yang 28 tahun ini masih tak bisa membendung rasa tangisku. Menangis,menangis,dan terus menangis. Aku sudah tak melarat, namun tetap aku merasa miskin. Aku kehilangan sosok pahwalan. Pahlawanku gugur disaat aku tak bisa untuk menyelamatkannya kembali. Sudah terlambat bagiku untuk menyelamatkannya.Kini usiaku 28 tahun. Kelapa yang dipikul oleh ayah dan ibuku dulu kini sudah berganti pikulan dengan puluhan mobil yang memikulnya.
Angin berhembus malam ini, ada yang jatuh disaat yang lainnya bangkit. Ibu, jendela kacamu ada disini, menemanimu dengan sebuah tangisan, angin serta hujan menjadi musik pengiring tangisan ini. Jendela kaca adalah saksi bisu kita, ibu.