Mohon tunggu...
Angelika Vikie
Angelika Vikie Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hangatnya Kejujuran di Bulan Cinta

14 Maret 2018   22:27 Diperbarui: 14 Maret 2018   22:56 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: nadezhda.bg

Kejujuran dalam keluarga adalah hal terpenting dalam berkomunikasi. Tanpa kejujuran tidak ada kepercayaan di dalamnya dan itulah salah satu hal yang merusak hubungan di dalam lingkaran keluarga inti. Saya mengalaminya dan menyadari pentingnya sebuah kejujuran.

Saya adalah seorang mahasiswa yang masih baru mengenal dunia "kamu harus bisa berdiri di kaki sendiri" alias mandiri. Selama ini, saya tinggal bersama kedua orangtua dan kembar saya. Saya sangat mengandalkan mereka, hidup saya lebih banyak diatur oleh kehidupan mereka. Kemudian, saya memasuki dunia perkuliahan dan memilih untuk merantau di Malang. 

Belum beberapa semester saya menjalani kehidupan perkuliahan, saya mengalami stress dan tekanan disana sini. Saya 'kaget' dengan perubahan yang tiba-tiba. Saya belum terbiasa mengambil keputusan dengan benar, saya sering memaksa diri padahal sudah lelah, saya merasa kesepian dan sulit membuka diri karena selama ini hanya bermain bersama kembar saya dan mengalami banyak kegagalan dalam mengelola waktu saya. 

Akhirnya, pola hidup saya sangat berantakan. Saya tidak makan tepat waktu, pulang larut malam, begadang, telat datang kuliah dan malas belajar bahkan lupa ibadah. Jika orangtua menelpon, saya selalu mengatakan saya baik-baik saja. Stress berujung depresi membuat saya akhirnya tidak mencintai diri saya lagi, saya benci dengan diri saya sendiri dan juga merasa tidak berguna.

Hingga akhir semester ganjil, kesehatan saya semakin memburuk, saya batuk keras bahkan sesak nafas. Orangtua saya semakin khawatir dengan kondisi saya. Orangtua saya sebenarnya tidak cukup uang untuk membiayai kepulangan saya, bahkan mereka sempat berdebat. Namun akhirnya, mama saya mengatakan " aku yang akan menabung nanti! Pulang saja dia ke Medan!" dan itu membuat hati saya bergetar.

Singkat cerita, saya pulang dan segera berobat, berharap saya segera sembuh untuk kembali lagi berkuliah. Orangtua saya memang marah karena ketidakjujuran saya yang sedang sakit. Tentu saja, karena sakit saya yang sangat parah sehingga saya tidak dapat menahan lagi, mereka harus membawa saya ke rumah sakit swasta tanpa alur BPJS. 

Akan tetapi dengan hati yang lapang dan cinta yang besar, mereka mengkhawatirkan saya, meluangkan waktu untuk menemani saya berobat dan rela mengeluarkan uang yang banyak. Saya merasa tak pantas menerimanya, tetapi saat itulah, tepat di bulan Februari, saya kembali menyadari secara sadar kehangatan keluarga yang selama ini tidak saya "lihat".

Saya belum kunjung sembuh dan harus mengalami pengobatan lanjut hingga 6 bulan atau lebih. Saya berencana ingin kembali berkuliah dan berobat di  Malang. Tetapi, dokter mengatakan kalau penyakit saya juga diakibatkan oleh psikologi saya yang bermasalah. 

Saya dikatakan  bahwa saya sebenarnya belum siap untuk merantau terlalu jauh karena masih ada ikatan batin yang kuat antara saya dengan kembaran saya. Melalui ungkapan dokter tersebut, terungkaplah perlahan-lahan lipatan-lipatan kecil kebohongan saya selama ini.

"apa yang kamu rasakan sekarang? sedihkah?  " pertanyaan sederhana keluar dari mulut ayah saya memecah keheningan. Saat itu saya, ibu dan ayah berada di kamar. Saya ingat jawaban saya saat itu adalah " gak tau, pa."  Di satu sisi saya merasa sedih dengan penyakit saya dan merasa bersalah sudah menghabis-habiskan uang orangtua. Di sisi lain, saya merasa lega karena akhirnya orangtua menyadari kesepian yang melanda saya melalui ungkapan dokter karena selama ini mereka merasa kesepian saya itu hanya masalah kecil saja. 

Tetapi ayah saya tidak membiarkan saya menyimpan kebohongan-kebohongan lagi, sehingga ayah terus bertanya dan mengorek semua tentang saya selama di Malang. Saya seperti dipaksa jujur, karena setiap saya membelokkan kenyataan, entah mengapa ayah saya sangat teliti sehingga ia terus mempertanyakannya hingga akhirnya saya mengalah dan jujur. Ibu juga menangis seakan-akan merasakan beratnya rahasia yang dipendam oleh saya, sehingga hati saya luluh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun