Dua hari lalu saya tergelitik ketika membaca headline hampir semua media online tentang permintaan Presiden Jokowi kepada semua menterinya untuk membuat Laporan Kinerja selama bekerja 6 bulan terakhir. Isu yang berhembus, ini berkaitan dengan wacana reshuffle kabinet. Saya tidak akan menyoroti soal reshuffle, tapi saya bingung soal laporan. Agak lucu aja, ketika seorang Presiden harus menunggu laporan dari bawahannya setelah enam bulan bekerja. Selama ini pola pelaporannya bagaimana? Dulu di masa SBY, ada UKP4 yang meng-compile pokok-pokok kinerja menteri secara bulanan. Jadi Presiden tidak perlu repot-repot “menunggu” laporan menteri-nya untuk melakukan pembenahan pada kabinet. Bingungnya lagi, di salah satu berita, Presiden bilang, laporan itu detail namun cukup dua halaman saja. Sungguh saya kurang paham, dua halaman tapi harus ditunggu selama enam bulan!
Hmm,.. saya mencoba berbaik sangka. Saya berkeyakinan ada missing link dari berita-berita itu. Atau bisa juga apa yang disampaikan oleh media, bukan maksud asli dari Presiden. Kita sama-sama tahu, presiden yang satu ini belum punya jubir, sehingga banyak sekali ucapan dan kebijakannya yang tidak tersampaikan dengan sebenarnya kepada media.
Namun lepas dari itu semua, saya sebagai pendukung Jokowi rasanya punya kewajiban untuk sedikit memberikan pendapat. Meski ada rasa “ Saya mah apa atuh” seperti kata Cita Citata. Hehehe.. Mungkin ini hikmah kecil mengapa Tuhan “mendaratkan” saya untuk bekerja di sebuah bank. Satu pekerjaan yang rasanya gak nyambung banget dari pekerjaan yang sebelumnya-sebelumnya. Ternyata nyambung juga, minimal tulisan yang saya beranikan untuk dimunculkan di blog ini adalah buah dari tiga bulan membaca berita ekonomi dan perbankan setiap hari dan sedikit pengetahuan dari pernah bekerja di pemerintahan.
Coba cek berita perekonomian. Dalam dua tiga bulan terakhir hampir tidak ada hari tanpa berita perlambatan ekonomi. Ini bukan cuma masalah rupiah yang melemah terhadap dollar, IHSG yang sangat fluktuatif atau “iming-iming” bahwa kondisi makro ini terjadi hampir di semua negara karena penguatan ekonomi Amerika Serikat. Lihat saja, pertumbuhan ekonomi tahun ini digadang-gadang hanya tumbuh tidak sampai 5% dari rata-rata 7% setiap tahunnya. Nilai ini bahkan disoroti sebagai pertumbuhan terendah dalam enam tahun terakhir. Lalu, salah siapa? Banyak pihak yang mengatakan menteri-menteri Kabinet Kerja seperti ketiban pulung bom waktu masalah-masalah rezim terdahulu. Mungkin die hard-nya Jokowi akan mengamini pernyataan itu, tapi saya -yang awam ini-, tidak akan sepenuhnya setuju dengan pendapat itu. Sisi paling tegas adalah krisis ini dialami hampir seluruh Negara, tapi lebih dari itu, banyak hal yang masih memerlukan slogan kerja, kerja dan kerja dua kali lipat lagi.
Mari kita urai, dengan indikator-indikator pelemahan ekonomi, pemerintah sudah banyak melakukan pembenahan khususnya di sektor keuangan. Kredit usaha yang seharusnya tumbuh diatas 17%, tahun ini terpaksa direvisi oleh hampir semua bank menjadi tidak lebih dari 13% saja. Kredit turun tapi jumlah tabungan dan deposito meningkat. Artinya, lebih banyak orang yang memilih jalur aman untuk dananya, bukan diputar dalam bentuk produktif. Untuk membuat semua bergairah kembali, ambillah contoh aktifnya pemerintah meminta semua perbankan menaikkan kredit di sektor pertanian dan maritim. Bahkan pembangunan maritim, menjadi satu gerakan nasional (Bravo Bu Susi!). Sektor ini dulunya hampir tidak pernah dilirik, karena dianggap tidak “bankable". Lalu target bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) turun hingga 12-15% di tahun 2015 dari kisaran 22% tahun-tahun sebelumnya, bahkan untuk ini digelontorkan subsidi hingga Rp 1 triliun. Jokowi berusaha mengembalikan khittah, Indonesia sebagai negara agraris dan negara maritim. Sektor yang dulu sedikit dilupakan, bahwa sepatutnya kita bisa "kaya" dari sana. Sektor yang sempat terabaikan; negara pemakan tempe, tetapi bahan baku tempe pun kita impor. Masyarakat pedesaan pun dibuat melek finansial dengan adanya program bank inklusif (bank tanpa cabang). Tidak itu saja, kredit konsumsi pun dibuat lebih ringan, contoh pelonggaran LTV (Loan To Value) untuk kredit rumah dan apartemen, yang artinya sekarang kita bisa bayar DP lebih murah untuk memiliki dua jenis barang tersebut atau nilai yang ditanggung bank sebagai pinjaman kita ke pihak ketiga menjadi lebih besar. Di sisi lain, subsidi dipangkas, bunga bank “dipaksa” turun, pembangunan infrastruktur ditingkatkan. Sejatinya secara teori ini adalah upaya mencapai posisi keseimbangan dalam ekonomi. Pertanyaan besarnya: butuh waktu berapa lama untuk mencapai semua itu?!
Memang, beberapa indikator berukuran jangka menengah bahkan jangka panjang bukan seketika seperti Deddy Corbuzier membengkokkan sendok. Adalah optimisme pemerintah yang sangat percaya diri bahwa semua upaya itu akan membuahkan hasil pada semester kedua tahun ini. Sayangnya, jarang banget media yang menulis atau mengompori pemerintah bahwa ada unsur krusial lain yang harus digenjot pemerintah. Saat sektor swasta melempem, cuma APBN dan APBD yang bisa membuat ekonomi tetap melaju. Masalahnya keterlambatan realisasi dua dana tersebut, sudah jadi penyakit lama. Jangankan saat pergantian rezim seperti sekarang, saat rezim lama pun, pola realisasi yang tidak tepat menjadi PR yang sulit dibenahi. Sejalan dengan itu, pembangunan infrastruktur dari APBN/APBD yang memang menjadi nawacita Jokowi tentu bukan perkara simsalambim. Dari hasil penelusuran, hingga Mei 2015 ini baru 25% APBN yang terealisasikan. Jumlah yang sangat kecil, yang mungkin hanya dicairkan untuk biaya operasional SDM saja. Artinya, Jokowi dan kabinetnya belum banyak bergerak pada bidang fisik infrastruktur. Berdasarkan pengalaman, kendala pencairan APBN dan APBD lebih banyak disebabkan masalah administrasi yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan memangkas birokrasi. Saya sedikit yakin, hal ini masih terjadi. Lagi-lagi, perubahan rezim, pergantian personil dan pergantian sistem jadi masalah klasik yang selalu terjadi siapa pun presidennya.
Dari semua itu, ada satu hal yang sangat perlu dijaga oleh pemerintah saat ini. Kepercayaan. Kembali lagi ke alinea pertama tentang laporan menteri tadi, seharusnya Jokowi meniru SBY di awal masa pemerintahannya. SBY punya program 100 hari yang tidak saja untuk mengontrol kinerja menteri-nya, tetapi sebagai media campaign dan corong “keberhasilan” program-programnya. Memang sedikit abstrak, tetapi fungsi komunikasi dan jubir yang Jokowi belum punya saat ini bisa sedikit ter-cover disana. Selain itu, ini adalah cara SBY untuk menunjukkan keberhasilan programnya dalam periode yang singkat, walaupun setelah itu deretan program jangka panjang masih menjadi PR yang berat. Menurut saya, ini adalah bagian dari upaya untuk menjaga kepercayaan itu. Kepercayaan masyarakat, investor dan dunia secara umum.
Saya dan saya yakin jutaan masyarakat Indonesia masih percaya dengan pemerintahan kini. Saya tahu mereka yang duduk disana adalah orang-orang pilihan. Masalahnya hanya dua, kepercayaan kita dan kesabaran kita bahwa semua ini akan berbuah manis.
Namun jangan lupa, percaya bukan berarti membiarkan,mendukung bukan berarti menutup mata akan kekurangan.
http://www.vikaoctavia.com/2015/06/menanti-presiden-di-persimpangan/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H