Vika Kurniawati, 71
    "Kucincang perut, hatinya kutusuk menjadi wewangian pada Bintang Terang. Seluruh kerajaan angkasa akan bersorak saat satu pnév̱mata apostoléa terpanggang, dan aku akan terhindar sindiran dari penghulu menara London. Dan kekuasaan udara kota kabut jatuh ke tanganku, bukan para anak iblis beroksigen. Cihh!"
Kaki kananku spontan menampar tongkat kayu hijau zambrutnya, "Sejengkal saja maka kau menghadapiku!"
Kornea tanpa pupil mengarah tajam ke arahku, "Lihat! Semenit lalu mengutuk karena jadi korban sukarelanya. Sekarang mengorbankan sahabat untuk penghianat hati tersebut. Lidahmu bak manusia, you really in love with him. Shame on you!"
    “Tak ada kata cinta, aku hanya tahu diri pada manusia yang menyelamatkanku. Dia yang menemukanku terbaring susut darah, lalu mengendongku ke rumah sakit. Belum ada bukti penghianatan Trevot selain igauan nama perempuan."
    "Helo nona Tifany, anda sekarang tidak menapaki tanah. Lalu parameter keberhasilan penyelamatan apa yang dilakukan? Ingat penghianat itu membantai para Legion, dan sebagian hawa mereka yang membuatmu masih melayang di bumi."
    "Dulu jika bukan karena truk yang menghantam kami, tentu aku tak menjadi roh penasaran. Bisa saja Trevor mengirimkanku ke Putra Fajar sejak otak menghentikan sinyal ke organ vitalku. Namun aku tetap dibiarkan mendampinginya. Ingat dia membunuh para Legion yang mengganggu manusia, seharusnya mereka melawan pasukan Michael."
    "Ahh, sudahlah! Kembalilah ke lelaki manusiamu. Percuma aku berbicara dengan mahluk yang mabuk cinta tanpa lisan. Semua terlihat benar, walau korneamu hanya hiasan semata. Kalau lidah kalian kelu kata cinta, bagaimana bisa memperjuangkannya? Buat dia mengaku desiran perasaannya, perempuan walaupun roh tetap membutuhkan pengakuan. Sadarlah cinta manusia dengan roh adalah roman tak berkepastian. Jungkil hatimu saat dia menolak membalas kata cintamu!"
    Aku tercenung mendengar rentetan nada tinggi Hana, calon anggota Leviatan. Sebagai mantan agen rahasia perang dunia pertama, tentu kenyang getir situasi apapun. Benar, selama ini aku tak bisa menyatakan cintaku. Ketakutan akan penolakan menyandera lidah tanpa dagingku.
Sangat menyiksa harus menahan isak dengan dua tangkup tangan, tak berair namun tetap memusingkan. Aku memutuskan melayang pulang memastikan raga serta jiwa Trevor tidak dijamahi Deamon. Sudah petang ketiga dari atap, aku melihat lelaki bujangku tak pulas. Dengan ruangan apartemen sudah menjadi tumpukan sampah plastik siap saji dan soda.
    Jambang coklat tak rapi menghias dagu serta belel jeans menambah dekil penampilannya. Sungguh bukan pria yang kukenal 357 hari sejak gelembung oksigen tak kubutuhkan lagi. Tentu dia bukan orang suci walau memilih menjadi pnév̱mata apostoléa. Namun untunglah cairan hijau zambrut Absinthe tak dicecapnya lagi. Dan memandang raut bersinarnya walau dari jarak 12 langkah, selalu lebih dari cukup.