Sulur-sulur detik hidup mengurat tanpa jeda mengelilingi raut tersamar ubannya. Dan mata dibalik lensa bundar terlihat berpendar. Para peri surga tadi mengguncangkan lelapnya dengan bisikan, "Sir Nicholas." Tapi tanpa bersalah, bibir tanpa pekat selalu dibentuk mengerucut sembari berdesis dalam bahasa ibu kami, "Bagaimana bisa melarang ballerino menari dalam mimpi?
Dan setelah sebilah gandum beraroma keju bersemayam di perut maka teralis penghubung dengan dunia perak kuhentakan. Sekop baja aku jejakkan dan berharap aroma tanah mengusir kebekuan. Moskow selalu menjadi negeri putri salju yang sempurna saat November selesai mengetuk. Dan aku penghuni negara dua musim harus mengemas raga belia berlapis. Aku tahu rasanya menjadi ikan ekspor sekarang.
Lampu sudah padam begitu tirai akan tersibak. Opera pertama Rusia Glinka, A Life for Tsar, sudah kuhafal 20 tahun lalu dimulai. Sejak aku menemukan pohon keluarga kandung, dan beasiswa ballet dapat tergenggam maka Kremlin Palace, tak asing aromanya. Aku merindukan adegan ibu biologis mulai jatuh cinta dengan pasangan liftingnya. Dan dari genggaman pada bunga bergetar lelaki di sampingku maka tak hanya aku yang mengalaminya, “Lihat, Cyzarine sudi turun dari surga di kencan pertama kita.”
Aku tahu tak sia-sia pilu meninggalkan tanah air saat membongkar paket dari Bohdana, salah satu peri surga yang memandikan papa. Sepatu balet warisan ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H