"Karena perang, kami bahkan tidak mampu membeli makanan lagi. Ada makanan di toko, namun tidak ada uang untuk membelinya!"Â
Yang ada di kepala saya saat membaca pernyataan Fatima, adalah dampak dari perang terbanyak adalah kesengsaraan bagi rakyat terutama pihak perempuan dan anak. Fatima serta suaminya harus menempuh empat jam perjalanan dari Shokan, Taiz Yaman serta meminjam 30.000 YER untuk membawa Ishaq (18 bulan) ke  Pusat Perawatan Kolera (PPK) MSF di kota Al Qaeda. Kejadian pada 6 Desember 2017 tersebut hanyalah sekelumit dari belasan kisah nyata yang sempat tertulis di buku "Kisah-kisah di Balik Dokter Lintas Batas."
Dokter Lintas Batas/MSF
Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta. Oya Medecins Sans Frontieres (MSF) yang didirikan di Paris pada tahun 1971 sendiri telah dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1999.
Beruntung saya bisa mendapatkan buku setebal 109 halaman dengan berbagai foto full color yang diabadikan sebagai pembawa pesan untuk dunia. Beberapa foto telah saya lihat saat pameran foto MSF di Jogja sebelumnya, namun ada sebuah foto yang ternyata menampilkan sisi lain dari para sumber acara sore itu. Bersama beberapa teman blogger (atas nama pribadi) pada 7 Oktober 2019, saya menghadiri MSF Road Show Pameran Foto "Aksi Kemanusiaan Lintas Batas" di galeri IFI-LembagaTernyata bukan hanya pemeran foto semata, namun peluncuran buku yang saya sebutkan pada paragraph sebelumnya juga dihelatkan. Dokter miliennial asal Indonesia yang mengisi buku tersebut juga hadir pada acara tersebut sebagai nara sumber adalah dr.Rangi W.Sudrajat. Dia sudah mengabdikan diri selama empat tahun dalam empat misi MSF termasuk Pakistan dan Yaman.
Jika kita sedang melihat berita mengenai perang di Sudan Selatan melalui layar kaca, maka dokter Rangi sedang membenamkan diri antara pasien Ruang Gawat Darurat dan Departeman Rawat Inap rumah sakit MSF di Bentiu, Sudan Selatan. Kita bisa melihat beberapa fotonya dan membaca pengalamannya di halaman 102-104. Saya akan menyertakan QR Code di bagian terakhir artikel, yang bisa anda pindai untuk mengakses buku tersebut dalam bentuk file pdf. Jika anda menemukan kesulitan dalam mengaksesnya, silakan menghubungi admin MSF Indonesia di Instagram.
"Salah satu goal saya memang mengabdikan diri untuk kemanusiaan, dan organisasi medis Dokter Lintas Batas membukakan jalan ke arah yang sama." Â Perempuan 30 tahun tersebut tak menyangkal adanya kendala tentang awal perjuangannya untuk mendapat ijin dari orang tua, "Pro kontra selalu ada namun bisa diselaraskan dengan diskusi dan pembuktian." Â Rumah sakit di PoC Bentiu sendiri didirikan pada 2014 dengan fasilitas yaitu: 160 ranjang, Ruang Gawat Darurat, Rawat Inap Orang Dewasa dan Pediatrik, Rawat Inap Gizi, Rawat Inap dan Rawat jalan TB/HIV, Unit Bersalin, Kekerasaan Seksual, Neonatal, Program Bedah dan Aktivitas Penjangkauan.
kesehatan jiwa pekerja kemanusian. Dan pihak MSF banyak memberikan bantuan mental health pada setiap pekerja yang membutuhkannya. Saat saya pulang ke Indonesia, saya merindukan orang-orang saat menjalankan misi MSF dan mengingatkan alasan utama saya melakukan misi ini, yaitu untuk melayani sesama."
"Saya tiba di Bentiu pada saat musim Malaria. Di Ruang Gawat Darurat, rata-rata 200 pasien per harinya, bisa juga sampai 700 pasien dan bangsal rawat inap penuh. Bekerja di bawah tekanan dan melihat banyak hal mengerikan yang terjadi dapat menggangguDokter yang berasal dari Indonesia tentu bukan hanya dr.Rangi W.Sudrajat saja, namun beberapa dokter sudah terjun lebih dahulu. Dokter John Julydharma dan dr Yusuf Toba bertugas di misi MSF di dua negara yang berbeda. Pekerja kemanusian MSF juga mencakup dari profesi non medis misalnya bagian logistik misalnya Bagus Emir Ikhwanto dan Rita Endrawati sebagai anggota tim logistik. Organisasi kemanusiaan medis internasional Medecins Sans Frontieres (MSF) atau Dokter Lintas Batas sendiri tidak membuka fund rising di Indonesia dan lebih berfokus pada misi kemanusian.
Pameran Foto