"Aja ketungkul marang kalungguhan lan kemareman."
Jangan terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan ataupun kepuasaan duniawi.
Jenny Jusuf. Iya pertama kali mendengar Mantan Manten dari bibirnya saat perempuan yang menjadi pembicara di salah satu sesi acara Patjar Merah. Tak perlu menunggu lama, akhirnya saya mendapat kesempatan menyaksikan akting Atiqah Hasiholan yang mendapatkan peran utama. Idola saya memang saat masih ada waktu menyaksikan layar kaca dengan beragam peran yang dia mainkan. Kali ini, tak jauh beda kualitas aktingnya, Â hanya ukuran layar semata bila ingin dibedakan.
Kisah dalam film ini sederhana sebenarnya, dan banyak dialami banyak orang lintas generasi maupun negara. Hanya berbeda setting, pemeran, bahasa, dan akhir kisah. Sepertinya itu juga yang menjadi salah satu daya tarik bagi penonton, yaitu rasa terwakili dan romansa yang tercermin sejak judulnya dinaikan. Â Saya sendiri teringat mantan walau beda akhir. Hayu siapa yang tidak melakukan hal yang sama? Saya tentu senang film dengan muatan budaya lokal diangkat ke layar lebar, bukan sekedar logat daerah yang dipaksakan. Bukan karena saya perempuan jawa loh, namun nusantara memang tersusun atas budaya lokal yang menakjubkan. Semoga budaya lokal daerah lain juga akan hadir di film Visinema selanjutnya. Mungkin dari pulau Borneo, Papua atau Sulawesi?
Serentetan peristiwa yang sudah diceritakan di promo, maupun review lainnya tidak akan saya ulang. Dikatakan salah satu inti dari kisah ini adalah keikhasan seorang perempuan untuk mengiklaskan cinta. Istilah anak milenial sih move on. Menurut saya film Mantan Manten bukan tentang manusia yang mengikhlaskan cinta baik pada mantan baik dari pihak Yusnina maupun Surya yang sama-sama terluka. Peristiwa itu hanyalah sebuah batu lonjatan untuk masing-masing peran. Saya memang sedikit terharu saat melihat film Mantan Manten, bukan saat adegan move on cinta sepasang kekasih, namun saat Yusnina move on dari selubung kepompong menuju jati diri spiritualnya. Yang kebetulan didapuk menjadi perempuan Jawa. Ah tidak ada yang namanya kebetulan sebenarnya.
Jika biasanya dikisahkan perempuan desa yang menjadi kupu-kupu di kota, maka sebaliknya dengan kisah di mana sayang sekali saya tidak melihat kadar romansa yang kuat antara dua sejoli pemeran utama. Surya dengan Yasnina, ya mereka berpelukan di adegan, bahkan mungkin sudah serumah bila mereka tinggal di amerika sebelumnya. Ya saya melihat sepasang sahabat beda jenis kelamin. Apakah ada adegan intim yang disisihkan dari layar? Silakan bubuhkan pendapat anda di kolom kometar bila sudah menonton film besutan Farishad Latjuba. Sebelum nonton juga boleh kok berkomentar. Woles aja.
Perempuan Jawa dari generasi baby boomers sendiri diterjemahkan dengan baik oleh Tutie Kirana sebagai budhe Marjanti, bukan semata berdandan kebaya lengkap dengan sanggul, namun lebih ke pembawaan serta gerak-geriknya.  Hanya saja kadar tegasnya perlu ditambah, walaupun memang masing pribadi berbeda, namun sejauh saya tahu dukun paes memang tegas tingkat dewa. Tentu demi kelancaran acara memang yang menuntut ketelitian serta keseriusan. Semua berharap menikah cuma sekali bukan?
Saya sendiri tidak melihat beralihnya Yusnina dari seorang konsultan keuangan metropolitan menjadi dukun paes adalah sebuah kemunduran kehidupan. Benar ada adegan Yusnina harus belajar berjalan jongkok, ataupun mengalun suara tenangnya saat kelebatan adegan pernikahan secara adat jawa hadir, namun tetap saja itu sebuah proses bukan hasil akhir kehidupan. Bila dilihat dari kehidupan spiritual, sebenarnya perjalanan seorang Yusnina sebagai perempuan jawa baru saja dimulai setelah adegan terahkir
Iya, perempuan jawa dalam banyak naskah kuno beraksara jawa mempunyai peranan dalam dunia spiritual bahkan sebagai tiang keluarga melalui doa serta ritual spiritualnya. Salah satu yang menonjol tentu tercermin pada profesi dukun paes, walau pada kehidupan nyata masih saya temui perempuan jawa dengan pilihan sebagai ibu rumah tangga yang puasa sesuai perhitungan adat jawa. Saya pikir itulah sisi romansa perempuan jawa dengan sisi spiritualnya, dimana digambarkan di film dalam bentuk kisah Yusnina. Sisi dimana terlupakan saat keinginan ragawi menyelubungi hidup, namun akan terus mengetuk hingga jiwa membukakan pintu.
Tiap adegan merupakan langkah perjalanan romansa Yusnina ditemani  dalam menemui jati dirinya dengan jalan menjadi dukun paes adalah inti dari film yang terasa cepat bergulir. Romansa ala jawa, di mana bahasa simbol, rapalan doa serta mimpi tanpa kata lebih sering dipilih. Bukankah doa tanpa tendensius adalah bentuk cinta tertinggi manusia?
Jadi apakah mungkin ada sekuel untuk menyelesaikan perjalanan spiritual seorang Yusnina yang baru saja dimulai?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H