Aroma biji kopi yang telah dihaluskan mulai menguar dalam seduhan bilangan menit. Tumpukan kristal air mineral sudah siap dicurahi seduhan pekat; nama saya tertera di sisi terluar  gelas. Tiga barista dari Program Peduli YAKKUM bergantian memenuhi keingintahuan  pengunjung  dengan racikan kopi. Memang saya penikmat kopi namun baru kali itu meneguknya dengan hal  yang berbeda, yaitu dibungkus haru. Ahkirnya saya kemudian lupa meminta satu biji kopi roasting untuk dikunyah.
Saya mendapati kecepatan dalam menyeduh kopi yang sama dengan barista yang lain; yang berbeda adalah kesan kagum yang timbul saat melihat Eko Sugeng meracik walau kedua tangannya diamputasii. Di area penyeduhan kopi tersebut, semua pengunjung baik peserta acara, relawan maupun media berbicara dengan bahasa sama, yaitu pengetahuan kopi. Â
Pesanan seduhan kopi memang berderet namun diselesaikan dengan teliti.Untuk mengetahui  gambaran bagaimana proses penyeduhan, latar belakang maupun kisah tentang tim Staracoffe mitra Pusat Rehabilitasi YAKKUM tersebut, bisa diperoleh dengan berselancar di dunia maya. Mulai dari wawancara secara personal di media cetak, online maupun jalur televisi.
Bertempat di balai desa dengan hamparan granit, sudah berjejer rapi para peserta yang tetap saja berbagi tawa dari kursi roda ataupun kacamata hitam mereka. Beberapa memang ditemani suster ataupun rekan yang mempunyai kekhususan raga yang lain. Tak ada yang diperlakukan istimewa, bahkan yang terekam diingatan saya hanya bertebarannya bahasa kasih antar teman. Satu hal yang sering yang lupa dilakukan kepada saudara dengan disabilitas
Beberapa relawan Juru Bahasa Isyarat (JBI) dengan kemampuan bahasa isyarat mengenakan seragam hitam saat bertugas, sehingga dengan mudah dikenali. Dengan sekian banyak pokok acara mulai 22-26 Oktober 2018, maka pengerahan relawan bagi saudara Tuli diperlukan. Â Demikian juga beberapa relawan maupun peserta yang menggunakan motor roda tiga khusus saudara disabilitas dengan SIM D.Â
Sekitar lima bulan, saya tak sengaja menemukan sebuah artikel mengenai  Bergodo Palawija. Terdiri dari saudara disabilitas termasuk albino pada masanya yang merupakan pengiring kesayangan para raja Jawa. Kelompok mereka sering disebut sebagai abdi dalem cebolan, dan sampai artikel ini dituliskan masih hadir dalam berbagai acara besar di lingkungan kraton dengan memakai baju Punakawan.  Kehadiran para abdi dalem ini memang terinpirasi dari para tokoh Punakawan dalam pewayangan.
Sebenarnya proses inklusi sosial atau sering disebut upaya menempatkan kemandirian sudah dilakukan oleh nenek moyang kita. Begitu juga bila dilihat dari sisi agama terutama dari sudut pandang islam yang dikemukakan oleh KH.Imam Aziz, ketua PBNU. Dijelaskan bahwa saudara dengan disabilitas mempunyai kewajiban serta hak yang sama dengan yang lain di ajaran islam.
Hanya saja memang praktik dari gerakan sosial untuk merangkul warga  negara yang mengalami marjinalisasi harus tetap digalakkan. Salah satunya dengan #IDinklusif yang mendorong masyarakat luas dalam kehidupan sehari-hari untuk bertindak inklusif. Salah satu langkahnya dengan Temu Inklusi yang sudah dihelatkan ketiga kali. Dari sisi pemerintahan sendiri baik nasional maupun lokal sudah mulai terlihat dukungan nyata.