Siulan cerobong kecil laksana penyanyi seriosa, disertai dentuman relung  asap menyentak kesadaran Juliet. Alam bawah sadarnya selalu tentram saat daun telinganya tertambat tanda ular besi siap menyusuri ruas bumi. Ujung hidung bahkan pipinya yang penuh bintik merah semakin merona saat berbisik satu kata dalam hati, "Samarang."
Saat menetap di Negara Mozart, mata kecil bahkan hidung Cleopatranya bisa  menyentuh permukaan ketel uap. Tentu saat mesin belum dipanaskan dengan batu bara. Ayah dari bibi Chatrine memang bekerja sebagai mekanik kereta uap, dan beberapa kali bahkan Juliet boleh memasuki tender lokomotif. Tempat perbekalan khusus bahan bakar untuk menyalakan lokomotif tersebut memang menjadi sarang Juliet saat menangis. Legamnya batu bara sudah sering tertempel di pipinya saat terbangun dari lelap siang hari. Menjadi tamu di negeri asing memang berat, apalagi  bagi gadis dileksia sekalipun bak bidadari.
Senja datang saat rengekan bayi diselingi kicauan para balita tanpa rambut tersembul di tengah-tengah kerumunan yang didatanginya. Juliet hampir saja terpeleset saat bergegas menaikan Rose, koper, dan payung kecilnya ke tangga gerbong yang paling bersih cat nya. Dia selalu menyukai aroma bedak bayi, namun terlampau takut untuk menyentuh mereka. Lagipula aroma menyengat batu bara pada pada pakaiannya, membuat dia tak ingin merusak suasana hatinya sendiri dengan sebuah penolakan. Dia selalu bingung kenapa noda pekat selalu mewarnai bagian bawah gaunnya. Sayangnya dia pernah punya waktu untuk menemukan jawabannya.
Dia terlalu sibuk merindukan hangat tembok putih bagian dalam Stasiun Tawang. Sebuah tempat yang menjadi saksi bisu pertemuan pertama Juliet dengan pria berkulit coklat, namun bermata biru. Aroma khas mirip tembakau menyambut langkah Juliet saat tangan mereka bisa berjabat tangan. Dan keesokan harinya Riva didapati dengan cekatan menggulung secarik kertas kecil. Pelan-pelan juga memberikan bara api pada bagian ujung. Aroma itu ternyata berasal dari rokok kretek, dan untung bukan candu.
Sejurus kemudian tangan kanan Juliet memegang erat pagar pegangan tangga, dan menarik dirinya sendiri ke atas gerbong. Setengah jam yang lampau, jemari langsing tertutup sarung  tangan putih tersebut,  sudah selesai menyelipkan beberapa pound pada masinis. Tentu agar diijinkan membawa Rose.
Seperti senja yang terdahulu, satu ruangan di gerbong khusus akan segera mereka tempati. Dua buah sofa warna kayu dengan sandaran bantal kapas, jendela tak berkarat, lantai dan sebuah meja kayu yang bersih. Satu toples kecil gula-gula menjadi fasilitas ruangan khusus masinis. Juliet tak perlu kuatir lagi akan diganggu oleh teriakan, dan bau badan menyengat dari para kuli angkut barang. Beberapa mungkin gila, atau bisa saja tanpa ragu akan menculik Rose untuk isi lontong opor.
Dari bibir tanpa kumis Riva, Juliet baru tahu ada kepercayaan mistis bahwa kucing legam akan memberikan kesaktian tertentu bila digunakan dalam sebuah ritual. Bulu kuduk Juliet masih saja berdiri tiap mengingatnya. Bagaimana tidak kalau pemberian Johana memang terlalu berharga untuk dimakan. Iya sahabat bibi nya yang menjadi primadona di kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij sudah susah payah mencarikan hadiah ulang tahunnya yang ke 19. Tepat seminggu setelah kedatangannya dari Batavia.
Juliet selalu bersyukur Riva tidak melakukan geinosa kucing walau bergaul akrab dengan para kuli di Stasiun Tawang. Tentu saja bukan berarti semua penduduk melakukan ritual tersebut. Andai saja rumah dinas tidak menyediakan ruang khusus, mungkin Riva akan tetap dengan para kuli yang suka menggoda para penjual jamu montok di koridor stasiun. Kulit sawo matang mereka memang eksotik, dan banyak pria Belanda memuja karena alasan tersebut. Untung saja dada mereka sudah tertutup, tidak seperti saat VOC mulai menggali harta kelahiran mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H