"Sini aku bantu memakai kainnya, cocok jadi celana buat dirimu." Kain  dua meter yang disebut kain batik motif Walang Sinanding Jati, kemudian kami bentangkan. Saya mendapat kain putih dengan corak coklat, dan menggangguk saat mulai dibalutkan  melapisi celana pendek yang saya kenakan. Hanya membutuhkan beberapa menit saja Elza menyelesaikannya, dan kami menuju ke bangunan yang disebut Pura menghadap laut. Saya menemukan sisa hio.
Walang sendiri bila diterjemahkan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, berarti Belalang. Sinanding berarti disandingkan, dan Jati diambil dari nama daun yang memang menjadi ciri khas dusun pengrajin batik tersebut. Dusun Sumberan di Gunungkidul memang menjadi sentra batik yang ternyata sudah dipatenkan, dan diolah dengan pewarna alami. Teman Genpi Jogja yang lain mendapat kain ungu, biru, coklat pekat maupun hijau tua yang nyaman dipandang. Kami mengenakannya sebagai tanda penghormatan kami pada pura yang kami kunjungi. Sayang sekali hanya rombongan kami yang mengenakannya.
Bangunan yang disebut pura sendiri sebenarnya salah satu rangkaian bangunan tempat ibadah yang akan didirikan lagi. Diharapkan bisa  menjadi simbol kebhinekaan Indonesia, sebuah ide yang bagus dan tepat pada situasi Indonesia sekarang. Dari bus yang terparkir, para pengunjung memerlukan lima menit untuk berjalan kaki, melewati beberapa gubuk kecil di kanan-kiri jalan. Satu atau dua wanita muda  mulai menjajakan Peyek Bayam, Jagung Rebus dan beberapa camilan berbungkus plastik. Gubuk yang selintas tak permanen, masing-masing memilliki satu penerangan. Bolham tak begitu terang.
Saya memilih menyambangi bangunan pura terlebih dahulu karena memang sudah penasaran semenjak menjelajah informasi di dunia maya sebelumnya. Sesampainya di ujung bibir pura dengan tebing, berulang kali saya harus memegang pagar hitam. Di samping angin yang meniupkan oksigen yang berlimpah, Â saya merasa dipanggil untuk mendekat ke laut. Aura persahabatan, atau serasa kembali ke rumah di masa lampau itulah kalimat yang tepat. Bagi saya bukan aura dimana hal negatif bermukim.
Sebagai manusia yang jarang mengalokasikan waktu bercengkrama dengan alam, maka pengalaman ke Pantai Ngobaran adalah keberuntungan. Saya bisa membiarkan komputer jinjing beristirahat selama sehari di rumah. Terlebih bisa menghirup limpahan oksigen sepuasnya dengan gratis. Anda pasti tahu dana yang diperlukan untuk membeli tabung oksigen.
Pantai Ngobaran adalah destinasi ketiga dari rangkaian wisata yang saya ikuti dalam sehari. Kenapa saya mengikutinya dalam sehari? Pertanyaan yang mudah dijawab mengingat lokasi tiga destinasi tersebut berada tak banyak menempuh jarak serta waktu. Semua tempat wisata itu bisa dijangkau dengan bus, sepeda motor ataupun mobil dalam satu jalur yaitu Gunungkidul. Untuk dua destinasi yang lain, akan saya tuliskan pada waktu yang tepat.
Sebenarnya ada dua bangunan pura sejauh yang saya tahu. Pura pertama berukuran luas berada di dekat gubuk oleh-oleh, dan pura kedua yang saya sambangi. Â Jika pura kedua terdapat beberapa patung yang terdapat pada candi-candi maka pura pertama sekilas masih bersih bila dipandang dari arah jalan. Mungkin kedepannya akan ada patung, papan informasi tentang sejarah dan data-data penting yang akan mengikat perhatian para wisatawan. Pemandu wisata dari pemerintah setempat tentu akan sangat membantu wisatawan yang mempunyai perhatian khusus bukan hanya pada keindahan kasat mata.