Mohon tunggu...
Vika Kurniawati
Vika Kurniawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

| Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Wong Kalang, Kaca Patri, dan Sop Buntut "Omah Dhuwur" Kotagede

24 Oktober 2017   10:56 Diperbarui: 24 Oktober 2017   11:18 2167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istri pak Tembong. Doc:Yulia Sujarwo

Mata di balik lensa saya sontak memperhatikan mozaik biru, merah, hijau, kuning dengan pilihan warna tua yang menjadi kolom-kolom di bagian dinding restoran. Mereka berpendar sesaat kala silau cahaya langit menyapa. Siang itu saya sedang berada di rumah bergaya kolonial Jawa yang sekarang dinamakan Omah Dhuwur Kotagede.

Mungkin sedikit aneh bagi orang lain jika mengetahui klaim diri saya sebagai food blogger, namun juga mengulas tentang interior maupun arsitektur dari rumah makan yang saya kunjungi. Bagi saya makanan yang enak akan terasa lebih nikmat bila didukung atmosfir yang tepat. Bukan berarti saya menolak makan di tempat minimalis interior, buktinya tetap lahap makan nasi kucing di tenda biru.

Kaca patri di ruang Buffet Dine In. Doc:Pribadi
Kaca patri di ruang Buffet Dine In. Doc:Pribadi
Saya memang selalu tertarik segala sesuatu yang berhubungan dengan seni interior kaca warna-warni bergaya klasik yang disebut kaca patri. Kaca patri pada jaman dulu menggunakan material kaca yang diimpor dari Amerika, Jerman dan Tiongkok sehingga harganya hanya sedikit bisa dijangkau. Diskusi kecil kemudian terjadi antara saya dengan pak Irsyam Sigit Wibowo pemilik HSWS Group sekaligus restoran yang berkesan eksklusif dengan kaca patri. Tentu disertai Yulia Sujarwo yang memang pemerhati sejarah dan memberikan informasi bahwa sederet kaca patri tersebut adalah warisan dari jaman Sri Sultan HB 7. Memang butuh pemerhati sejarah untuk bisa mengetahui secara detail. Saya lega karena pemilik rumah makan bukan sekedar menjalankan usaha namun mengetahui tiap detail dari bangunan tersebut.

Irsyam Sigit Wibowo. Doc:Riana Dewie
Irsyam Sigit Wibowo. Doc:Riana Dewie
Rumah Tembong adalah nama awal yang diambil dari  Prawiro Suwarno Tembong selaku pemilik awal. Mengenai kisah hidup beliau, saya mendapat konfirmasi dari cerita ayah yang juga membenarkan hal yang sama. Kotagede memang identik dengan peninggalan Kerajaan Mataram Islam, perak dan Pak Tembong.

Pemilik awal Omah Duwur adalah salah satu dari Wong Kalang dengan julukan Raja Berlian dari Tanah Jawa. Wong Kalang sendiri adalah identitas khusus  bagi sekelompok pekerja ketrampilan ukiran perhiasaan yang dipilih oleh kerajaan. Kebanyakan dari Wong Kalang dipercaya mempunyai kesaktian tertentu, dan mempunyai ciri fisik khas yaitu berekor. Berikut adalah lukisan diri dari beliau dan istri yang masih tersimpan di bagian sudut Omah Dhuwur.

Pak Tembong. Doc:Yulia Sujarwo
Pak Tembong. Doc:Yulia Sujarwo
Istri pak Tembong. Doc:Yulia Sujarwo
Istri pak Tembong. Doc:Yulia Sujarwo
Omah Dhuwur yang memang terletak di area yang tinggi,  terdiri dari dua bagian utama yaitu  adalah rumah induk berbentuk pendopo Joglo dan ruangan semi outdoor di mana alunan keroncong bisa terlihat langsung. Sayang sekali saya tidak sempat mengabadikan deretan kaca patri yang saya bahas di awal  tersebut. Aroma Sup Buntut ala Omah Dhuwur, Sate Kotagede, Ayam Serai plus nasi hangat dibalik bungkus daun pisang sudah mengundang saya untuk dicicipi. Jam makan siang memang sudah mulai berdentang di perut saya, dan angin sepoi-sepoi menyempurnakan semua. Saya memastikan jika datang tanpa teman, maka tertidur setelah makan Sop Buntut sudah jadi kepastian. Mungkin manajemen Omah Duwur bisa mulai melirik membuat penginapan dengan nominal yang sepadan dengan fasilitas lengkapnya.

Suasana taman sekitar pendopo. Doc: Riana Dewie
Suasana taman sekitar pendopo. Doc: Riana Dewie
Tentang Sop Buntut ala Omah Dhuwur nya, saya terutama suka kuah tak keruhnya sehingga tak ragu untuk menyelesaikan. Kayu manis, kapulaga, cengkeh, pala dan merica halus terasa lembut di lidah tanpa saling dominan. Sayuran yang berendam di dalamnya juga matang serta dinikmati tanpa harus menggigit erat. Emping, Sambal Lombok Ijo dan tempe goreng yang menemani saling melengkapi cita rasa yang tertinggal di lidah. Ayam Goreng Serai yang menggoda dengan kerlingan warna serta limpahan crispy menjadi sasaran kedua saya. Maaf saya mengambil tiga bagian sekaligus dari setumpuk Ayam Goreng Serai.  

Seafood Mondorakan. Doc:Rani Theresia.
Seafood Mondorakan. Doc:Rani Theresia.
Sebagai penyuka sate, maka Sate Kotagede yang tersaji apik menjadi juara dari menu makan siang yang tersaji. Bagaimana tidak juara jika empuk, kematangan, rasa rempah, ketebalan dari olahan daging sapi tersebut sudah memikat lidah saya sejak gigitan pertama. Warna bakaran nya juga pas untuk selera saya yang memang sedikit rewel tentang tingkat kematangan sajian yang ada. Saya akan kembali ke Omah Dhuwur dan memesan Sate Kotagede dengan khas pedas manis pastinya.

Seafood Mondorakan. Doc:Rani Theresia
Seafood Mondorakan. Doc:Rani Theresia
Wedang Lombok. Doc: Riana Dewie
Wedang Lombok. Doc: Riana Dewie
Omah Duwur sebenarnya tidak asing untuk saya, walau baru sekali ini menapaki tangga menuju pintu utama. Dulu saat saya masih rajin menggunakan Transjogja yang memang melintasi Jalan  Mondorakan, Omah Dhuwur selalu terlihat memanggil untuk dihampiri.

Jadi kapan ke Omah Dhuwur lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun