Dengan maraknya inovasi dan penggunaan mobile application untuk kehidupan sehari-hari, Gojek dan Grabtaxi tidak ketinggalan mengaplikasikan teknologi terkini untuk perbaikan bidang pelayanan transportasi ojek. Terinspirasi lewat perbincangan dengan supir ojek, Nadiem Makarim, founder Go-Jek, melihat ketidak produktifan tukang ojek di balik kebutuhan transportasi yang nyatanya relatif tinggi. Nadiem pun kemudian menerobos celah dengan menciptakan OTT (Over-the-Top Service) Application untuk pengguna ojek, di mana orang bisa memesan pelayanan ojek lewat mobile apps. OTT application pada umumnya adalah bentuk ekstensi untuk pelayanan yang sudah ada yang ditujukan untuk memudahkan costumer untuk memesan layanan/produk.
Sayangnya, praktik memesan alat transportasi ojek lewat internet itu dipandang tidak sesuai dengan peraturan tentang angkutan umum oleh Kemenhub. Bukan hanya pelayanan OTT yang dianggap tidak sesuai, namun motor sebagai kendaraan roda dua juga dianggap tidak memenuhi izin penyelenggaraan umum. Di sini kita lihat pembuat kebijakan terhadap angkutan umum itu plin plan. Selama ini saja, dengan adanya ojek liar; adanya perampokan, pemerkosaan atau pun penculikan, pemerintah tidak pernah mengambil langkah untuk mengorganisir angkutan motor tersebut. Tapi kini, ketika sudah diatur oleh managemen, anehnya, peraturan malah membatasi upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan roda dua tersebut.
Keberadaan OTT ojek di Indonesia secara umum sudah mengganti persepsi dan meningkatkan standar pelayanan transportasi umum di Indonesia. Yang sebelumnya, orang-orang memesan ojek yang tidak terjamin keamanan dengan harga yang semena-mena, dengan adanya OTT ojek, orang bisa memesan ojek di mana saja dan kapan saja, dengan harga yg lebih fair, dan dengan keamanan yang lebih baik. Selain dengan adanya peningkatan kualitas pelayanan, dengan adanya managemen OTT itu sendiri, para supir ojek juga meningkat kesejahteraan dan produktifitasnya. Namun yang sangat disayangkan, ketika peningkatan upaya tersebut dilakukan oleh pihak swasta, peraturan bukannya mendukung, malah menjatuhkan upaya tersebut.
Dalam hal ini para legistator juga terkesan memiliki pemikiran yang sempit tentang pengadaan suatu pelayanan transportasi. Mereka memang berniat untuk menjaga kualitas pengadaan transportasi di Indonesia. Sayangnya, pertimbangan tersebut tidak memperhatikan kebutuhan nyata masyarakat untuk memperoleh transportasi yang cepat dan praktis dan sifatnya hanya membatasi upaya masyarakat terhadap akses transportasi instan tersebut. Para legislator ini seharusnya tidak hanya membuat peraturan saja, tetapi juga memberikan bimbingan dan pandangan kepada masyarakat tentang penggunaan OTT ini dan bagaimana masyarakat atau pihak swasta bisa mengembangkan dan mendaya gunakan resource ojek ini untuk pelayanan transportasi masyarakat yang lebih memuaskan. Pada dasarnya, jika sistem OTT ini dikelola dengan baik, managemen terhadap transportasi tersebut bisa memberikan efek yang positif kepada masyarakat.
Untuk itu, di sini pemerintahan dan Kemenhub perlu bersikap responsif dan dinamis dalam perkembangan teknologi dan jaman. Diperlukan sebuah kolaborasi antara pemerintah dengan managemen OTT angkutan publik. Kalau sudah begitu, tentunya pemerintah bangga, masyarakat pun senang.(VN)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H