[caption caption="source: http://www.jpnn.com/read/2013/09/24/192523/Bangkrut,-BlackBerry-Dijual-Rp-53-Triliun-"][/caption]Rasanya baru beberapa waktu lalu memiliki Blackberry adalah keharusan dan menggunakan BBM memberikan kecanduan. Produk handphone buatan Kanada itu sempat sukses eksis di kalangan masyarakat dan menciptakan ketergantungan pada penggunanya. Namun, selang beberapa tahun, secara cepat namun perlahan, tingkat antusiasme masyarakat terhadap smartphone tersebut memudar layaknya pasir yang terbawa ombak.
Lalu, sebenarnya apa sih yang menyebabkan smartphone yang sempat menghasilkan banyak penggemar itu kehilangan kejayaannya? Kejatuhan Blakberry di pasar merupakan contoh kekalahan perusahaan besar terhadap inovasi disruptif.
Inovasi disruptif merupakan proses terobosan di mana sebuah produk/servis baru di pasar berhasil menggantikan atau memukul jatuh produk lain yang sudah ada. Hal tersebut dapat terjadi karena produk-produk baru menawarkan inovasi yang lebih menarik di mata masyarakat – biasanya dengan harga yang lebih murah dan fitur yang lebih canggih di mana produk tersebut menciptakan kalangan konsumen baru yang tentunya jauh lebih banyak sehingga bahkan menggusur produk yang sudah ada.
Sebagai smartphone yang dispesifikasikan untuk keperluan bisnis, Blackberry menargetkan konsumen pada lapisan atas yaitu kelas pebisnis dan kelas menengah. Dengan inovasi yang memberikan fasilitas yang menunjang untuk tujuan tersebut, Blackberry pun digemari oleh masyarakat bahkan smartphone itu sendiri juga sempat menjadi simbol status sosial. Namun, hal itu tidak lama sampai ketika Android diluncurkan.
Bentuk dari inovasi yang disruptif ditandai dengan harga yang lebih terjangkau serta teknologi yang lebih canggih. Di sini, Blackberry terkalahkan dari segi harga dan teknologi. Dengan mengkhususkan perangkatnya untuk keperluan bisnis dengan harga yang tinggi, Blackberry hanya menjangkau lapisan atas di pasar. Sehingga, ketika Android hadir dengan fitur yang lengkap dengan harga yang lebih murah, Android pun berhasil meraup konsumen luas di pasar yang tidak terkuasai oleh Blackberry.
Sebelumnya, belum ada smartphone yang mengkhususkan fiturnya untuk keperluan bisnis sampai dengan munculnya Blackberry. Terkenal dengan desain hardware sampai Blackberry Messanger-nya, Blackberry memberikan terobosan sebagai smartphone unik yang mendukung fasilitas bisnis. Inovasi tersebutlah yang menjadi latar belakang kejayaan Blackberry. Sayangnya, kejayaan itu tidak berlangsung lama sampai Android muncul. Dengan fiturnya yang nyaris menyerupai Apple, Android bisa memenuhi keinginan pasar akan fasilitas hiburan dan bisnis dalam satu produk; hal yang tidak dijangkau oleh Blackberry. Android mampu mencangkup keperluan hiburan dan bisnis.
Yang menjadi kesalahan Blackberry adalah, ketika Android and Apple sudah merebut pasar dengan fasilitas hiburannya, Blackberry masih bersikukuh untuk mempertahankan branding dan fokusnya pada bisnis. Ini adalah salah satu kesalahan paling sering dibuat sebuah perusahaan besar yang kemudian terpuruk di pasar – mempertahankan status quo.
Dengan terjadinya persaingan tersebut, tentunya perusahaan mana pun akan mengambil langkah untuk menyelamatkan produknya. Dari kekalahan dua faktor tersebut, yakni harga dan fitur, Blackberry pun kemudian memotong harga dan menambahkan fitur dari produknya. Sayangnya, fitur Blackberry yang masih mempertahankan status quo-nya itu masih kalah lengkap dari Android yang memiliki jauh lebih banyak developer daripada Blackberry. Di zaman ini, internet adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Namun, fitur browsing Blackberry masih juga sangat kaku dibanding dengan Android. Ditambah lagi, harga paket internet smartphone Android juga ternyata lebih murah dibandingkan harga paket Blackberry.
Di tengah antusiasme masyarakat yang ramai terhadap mobile apps games dan social media seperti instagram, path, vine, dsb, fasilitas Blackberry masih tidak mendukung fitur entertainment tersebut. Blackberry pun dirasakan membosankan. Ditambah lagi, dari segi harga, harga Blackberry yang sudah dipotong ternyata masih kalah dengan Android yang memiliki harga murah namun fitur yang jauh lebih lengkap dan fleksibel. Alhasil, konsumen pun berbondong-bondong beralih kepada Android.
Kalau sudah begitu, lalu apa yang dapat kita cermati dari kekalahan Blackberry? Awal kejatuhan ini tentunya tidak lain merupakan buah dari ketidak gesitan Blackberry dalam menghadapi inovasi disruptif. Blackberry gagal untuk mengembangkan produknya untuk mengikuti keinginan pasar. Blackberry memang sempat menciptakan trend, tetapi layaknya musim, trend datang dan pergi. Idealisme dan keunikan memang menjadi faktor kejayaan, tetapi, keinginan untuk menjadi ‘berbeda’ itu juga lah yang menjadi faktor keterpurukan Blackberry. Ketika selera dan kebutuhan masyarakat berkembang, Blackberry masih memegang teguh idealismenya sehingga masyarakat pun meninggalkan. (VN)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H