Sudah lama aku jatuh cinta padanya. Sejak pertama kali aku mengenalnya atau lebih tepatnya dikenalkan padanya. Mendengar namanya membuatku penasaran dan ketika bertemu dengannya hatiku berdebar. Inikah cinta pada pandangan pertama.
Selama aku menyukainya tak banyak yang kulakukan. Aku hanya memandangnya. Beberapa kali berbicara singkat dengannya. Oke jujur beberapa kali itu bisa dihitung dengan jari. Aku pemalu. Bukan orang yang dengan terang-terangan mengungkapkan hatinya.
Selama beberapa tahun aku menyukainya bukan aku tak tau harapanku itu hanya seperti pungguk yang merindukan rembulan. Aku sangat sadar itu. Rasa cintaku takkan dibalas olehnya. Seringkali hatiku kuremukkan agar ketika kenyataan itu datang, aku siap menerimanya dengan lapang dada. Namun berkali-kali kupersiapkan diri, berkali-kali kucoba tuk lupakan perasaanku terhadapnya, perasaan itu tak mau beranjak pergi dari hatiku. Selalu bercokol disana.
Tiba-tiba bom itu meledak juga. Pagi-pagi yang kudapat dari teman sekantor adalah undangan pernikahannya. Ya undangan pernikahannya. Dan aku munafik kalau kubilang aku tak sedih. Hatiku hancur berkeping-keping. Padahal sudah kupersiapkan selama 6 tahun untuk hal yang seperti ini. Tetap saja hatiku belum bisa rela menerimanya dengan lapang dada. Didepan orang, senyum yang kutebar. Di belakang itu aku menangis setiap mengingatnya.
Aku tau. Aku tahu diri. Berulang-ulang kali orang menyuruhku menyerah atau menyuruhku berusaha. Aku sudah mencoba tak tak bisa. Berulang-ulang kali orang lain mengingatkanku untuk tidak menangisi patah hati ini karena tak ada hubunganku dengannya. Seharusnya begitu. Tapi tetap saja aku patah hati, tetap saja aku bersedih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H