Hanni terkejut, senyum Alan terasa begitu hangat dan menenangkan.
"Oh, Alan! Apa kabar?" jawab Hanni dengan canggung, namun senyumannya mulai merekah.
Hazeel yang berdiri di sampingnya tertawa pelan.
"Hei, aku Hazeel. Teman dekatnya Hanni," katanya dengan senyum lebar. "Aku dengar kamu pemain gitar yang keren. Boleh dong aku dengar lagi?"
Alan tertawa kecil dan mengangguk. "Tentu, senang bertemu denganmu Hazeel."
Mereka bertiga kemudian mulai mengobrol santai, dan Hanni merasa semakin nyaman. Perlahan, rasa cemas yang mengikatnya mulai menghilang. Ia merasa lebih terbuka, lebih mengerti tentang dirinya sendiri dan tenang orang-orang di sekitarnya.
Hari itu, Hanni menyadari sesuatu yang penting. Terkadang, kita butuh sedikit dorongan untuk membuka diri dan membiarkan orang lain masuk ke dalam kehidupan kita. Dan mungkin, orang yang tepat selalu datang pada saat yang tepat. Seperti Alan, yang memberi Hanni ruang untuk merasakan kebebasan, serta Hazeel, yang membantu Hanni untuk melangkah keluar dari zona nyamannya.
   Setelah pertemuan itu, Hanni merasa ada banyak hal yang terbesit dalam benaknya. Meskipun ia merasa sedikit lebih terbuka, cemas dan gelisah masih menghantui perasaannya. Pikirannya terus-menerus terjeba dalam keraguan tentang dirinya sendiri, tentang Alan, dan tentang segala hal yang belum ia mengerti. Hanni merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan dalam dirinya, sesuatu yang belum terselesaikan dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya merasa terus terombang-ambing.
   Hari itu, saat sekolah selesai, Hanni berjalan pulang dengan langkah yang lebih lambat dari biasanya. Di jalan yang biasa ia lewati, rasanya dunia di sekitarnya tampak kabur. Semua orang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing, dan Hanni merasa seakan ia kehilangan arah. Kepalanya dipenuhi dengan kekhawatiran apakah ia sudah mengambil keputusan yang benar? Apakah ia sudah cukup berani untuk menghadapi perasaan dan kenyataan yang ada?
Ketika Hanni melangkah semakin jauh dari sekolah, perasaan gelisah itu semakin menguasainya. Langkahnya semakin terasa berat, dan detak jantungnya semakin cepat. Ia berhenti sejenak, mencoba menarik napas dalam-dalam, namun cemas itu tetap tak hilang.
Namun, saat itulah ia mendengar suara lembut yang memanggilnya dari sebuah sudut jalan yang tak jauh dari tempatnya berdiri.