Mohon tunggu...
Vieramadhani Poetry
Vieramadhani Poetry Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sulung dari 5 bersaudara yang gemar menulis dan membaca. Tulisan-tulisan hanya ditumpuk dibuku dan laptop, tidak berani untuk mempublikasikan. :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sembunyikan Emosi, Kuatkan Diri

21 April 2013   12:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:51 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


"Tapi bahkan orang-orang sebelum mati, terkadang mereka tak tahu harus bagaimana menghadapi kematian itu sendiri."

Sore ini aku kembali berkunjung ke sebuah rumah sakit ternama disebuah kota tempatku menimba ilmu. Lorong demi lorong kutelusuri demi memuaskan hasrat ingin tahuku. Aku sudah berkunjung kerumah sakit ini sejak semester empat. Kini aku seorang mahasiswi tingkat akhir disebuah perguruan tinggi yang tak jauh dari rumah sakit ini berada.

Tinggal satu belokan lagi sebelum aku akhirnya bisa menemui seorang pasien yang sudah sejak sebulan yang lalu rajin kukunjungi. Pasien yang hendak kutemui ini adalah seorang pria yang merupakan seorang suami juga ayah bagi ketiga anaknya. Penyakit yang dideritanya adalah diabetes akut yang mengharuskan mengamputasi jempol kaki kanannya. Namun setelah amputasi ini dilakukan, tak lama dokter meminta untuk melakukan cuci darah sebulan sekali.

Pria ini berusia awal 40 tahun, anak pertamanya seusia denganku dan juga duduk dibangku kuliah. Anak kedua masih SMP dan yang terakhir baru masuk sekolah dasar. Bapak ini bekerja sebagai pengajar sekolah menengah atas yang juga merupakan seorang guru les disebuah lembaga bimbingan belajar yang cukup terkenal. Selama kurang lebih 15 tahun beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar matematika dan fisika.

Aku memasuki sebuah rungan dengan enam tempat tidur yang masing-masing terpisahkan oleh kelambu berwarna hijau. Yah, beginilah keadaannya ruangan kelas tiga, meski aku lebih suka menyebutnya ruangan tanpa kelas. Karena, meski kau kaya raya ketika kau masuk ruangan ini kau tidak akan dibedakan dan dianggap sama hartanya dengan orang-orang tak punya lainnya.

“Assalamualaikum,” kuucapkan salam dan menyalami sang istri dan si sulung. Karena sudah semester akhir, dia tak lagi kuliah sesuai jadwal, hanya sesekali pergi ke kampus untuk berkonsultasi dengan dosen, sama sepertiku.

“Bagaimana keadaan bapak?” tanyaku pada si pria yang terbaring lemah namun bibir tetap tersungging diwajahnya. Terlihat banyak perubahan yang mencolok pada berat badannya. Kulitnya keriput dan melekat langsung pada tulang. Tubuhnya digerogoti oleh penyakit yang bersarang dalam dirinya.

“Alhamdulillah baik, baru datang dek?” dia balik menanyaiku.

“Iya pak. Langsung kesini tadi,” jawabku.

Kami mengobrol tentang berbagai hal, tentang politik, tentang pemerintahan, tentang pertanian, tentang teknologi, dan juga kehidupan mengajar. Terlihat jelas bahwa ia merindukannya, merindukan tingkah pola murid-muridnya saat menerima pekerjaan rumah, ulangan harian, ataupun sikap-sikap konyol mereka saat upacara.

“Di sekolah tempat bapak mengajar, setiap minggunya selaluuu saja ada anak yang disetrap gara-gara terlambat, lupa memakai topi, dasi, atau atribut lainnya,” ceritanya sambil tersenyum.

“Bapak heran sama anak-anak itu, dimana letak sulitnya pelajaran fisika? Fisika itu mengasyikkan. Mereka belum kenal dengan fisika sih, kan tak kenal maka tak sayang,” katanya kepadaku yang kubalas dengan senyuman.

“Kalau berhubungan dengan pe-er, bapak selalu tegas. Soalnya kan tugas mereka itu belajar, ya harus mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawab yang diberikan kepada mereka. Mereka tidak harus bekerja agar mereka bisa sekolah, harusnya mereka bersyukur,” tuturnya padaku dengan menggebu-gebu.

Banyak cerita yang ia tuturkan kepadaku yang merupakan refleksiku dimasa lalu. Cerita-cerita itu bisa kujadikan pelajaran dalam menyikapi hidup. Yah, pelajaran kehidupan tidak mudah kau dapatkan meski sebenarnya pelajaran itu terpampang jelas dibawah batang hidungmu.

Kulirik jam dinding satu-satunya diruangan itu yang terletak tepat diatas satu-satunya pintu masuk, pukul 17.20 WIB. Saatnya bagiku untuk pamit kepada keluarga kecil ini. Aku meminta diri untuk izin pulang dan berjanji bila tidak ada halangan besok kembali lagi.

***

Aku teringat pada pertama kali aku memulai semester empat. Saat itu jurusanku terbagi dalam lima peminatan yang boleh dipilih saat kami menempuh semester empat yaitu, Psikologi Perkembangan, Psikologi Klinis, Psikologi Sosial, Psikologi Pendidikan, dan Psikologi Industri dan Organisasi (PIO). Pemilihan ini didasarkan pada minat masing-masing dari kami dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek kedepannya. Awalnya aku sempat tertarik dengan PIO, namun aku memiliki sedikit masalah tentang berbicara didepan umum, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk memilih Psikologi Klinis.

Beberapa saat setelah memulai perkuliahan aku tertarik pada satu bidang pekerjaan sebagai seorang psikolog paliatif. Aku mulai mencari tahu tentangnya melalui media yang bisa kujangkau kapan saja, internet. Kutemukan banyak hal mengenai psikolog paliatif lalu aku mulai mencari tahu dirumah sakit yang berada tak jauh dari kampusku. Dirumah sakit tersebut aku bertemu dengan beberapa psikolog paliatif, taku mudah memang untuk membuat janji, terlebih saat itu bisa dibilang aku masih berada ditahun kedua masa kuliahku.

Tak mudah berada di rumah sakit yang beberapa tahun ini sering kukunjungi. Banyak izin sana sini yang harus dipenuhi sebelumnya untuk bisa berkunjung sesukaku. Beruntunglah aku memiliki seorang dosen yang praktik dirumah sakit ini. Berkat beliaulah aku mendapatkan izin untuk belajar dan lebih mengenal dengan keadaan rumah sakit ini.

Meski tak selalu aktif sejak semester empat karena banyaknya tugas dan praktikum yang ada, aku selalu menyempatkan diri untuk sekedar mengetahui suasana rumah sakit, membayangkan kira-kira kondisi apa yang bisa membuat pasien nyaman dengan keadaannya maupun lingkungannya. Walaupun aku tahu bahwa sejauh apapun aku berusaha tidak mungkin bisa merubah nasib atau takdir seseorang. Memang, dokter bukanlah Tuhan yang bisa tahu kapan jatah hidup seseorang manusia akan berakhir, tapi setidaknya kita bisa mempersiapkan kemungkinan yang ada, kemungkinan terburuk.

Psikolog paliatif adalah seseorang psikolog yang berhubungan dengan pasien yang mendapat vonis kematian. Penyakit-penyakit berat yang akut atau berada distadium akhir seringkali mendapat vonis kematian dari dokter, vonis tentang sisa umur yang dimiliki pasien. Memang tak semua vonis menjadi kenyataan, ada yang sama persis, ada yang lebih lambat bahkan ada pula lebih cepat.

Tugas psikolog paliatif bukan menyembuhkan, namun menjaga agar pasien merasa nyaman dan mampu menerima vonis dari dokter mengenai usia harapan hidup dari dokter mereka. Karena tidak semua pasien mampu menghadapi vonis kematian mereka, vonis kematian seolah-olah menjadi kematian yang berjalan mundur. Tidak semua siap menghadapinya, disinilah psikolog paliatif mengusahakan keadaan pasien agar merasa lebih tenang dan nyaman.

Sebetulnya, aku baru benar-benar sering mengunjungi rumah sakit ini setelah semester tujuh. Saat itu aku sedang magang, kegiatan perkuliahan pertama sebelum skripsi. Aku memilih rumah sakit ini sebagai tempat magang, ketika itu aku mendapatkan seorang anak perempuan berusia 10 tahun yang mengidap kanker darah dan mendapat vonis tiga bulan usia kehidupan dari dokter. Kebetulan jatah masa magangku juga tiga bulan lamanya.

Sejak saat itu, setiap hari aku melaksanakan masa magangku dengan membantu psikolog paliatif yang menanganinya dengan cara menemani, menghibur, serta mengajak gadis kecil itu melakukan sesuatu yang menyenangkan yang diperbolehkan oleh dokter.

Selama hampir tiga bulan berteman, terjadi chemistry antara aku dan dia. Dia sudah seperti adikku sendiri, aku juga dekat dengan keluarganya. Perlahan-lahan aku berdoa disetiap sujudku, memohon agar gadis kecil itu hidup lebih lama dari waktu yang telah diperkirakan oleh dokter.

Kejadian itu terjadi di minggu ketiga bulan ketiga jatah hidup yang divoniskan oleh dokter untuknya. Saat itu aku sedang mengikuti briefing dengan pembimbing lapangan tempat magang serta mahasiswa magang lainnya. Tiba-tiba ada pemberitahuan dari seorang perawat yang mengabari psikolog paliatif yang menjadi pembimbing lapanganku tentang seorang gadis kecil yang meninggal karena kanker darah. Seketika itu tubuhku lemas, antara percaya dan tidak percaya aku mengekor dibelakang pembimbing lapanganku itu untuk melihat sendiri dengan mata kepalaku.

Sesampainya diruangan aku melihat jelas bahwa gadis itu, seolah tertidur menyilangkan tangan diatas perutnya, bibir pucat dengan poni yang menutupi sebagian keningnya telah tiada. Kaluarganya mengelilingi tempat tidur persegi yang menjadi saksi keberadaannya. Tiba-tiba kurasakan tubuhku berputar lalu semuanya menjadi gelap, aku pingsan!

Ketika terbangun kudapati diriku tengah tertidur di sofa tempat kami, mahasiswa magang berkumpul. Disekelilingku terlihat dua orang temanku melihatku dengan ekspresi lega. Belum sempat kutanyankan tentang gadis kecil itu, mereka bercerita bahwa keluarganya telah membawa dia pulang. Aku terdiam sambil memandangi ujung jilbabku.

Malamnya kupandangi pesan masuk di layar handphoneku, pesan singkat dari dia yang berbunyi, “Mbak besok ajarin bikin kodok dan bangau dari kertas lagi ya? Aku masih belum bisa soalnya susah”, air mataku menetes jatuh.

Sejak kejadian itu aku sering menangis, menyadari bahwa kematian sangat dekat dengan diri kita dan bahwa kebanyakan dari orang-orang itu baik sehat maupun sakit tidak akan bisa menerimanya dengan kelapangan dada. Sampai suatu hari, tepat sehari sebelum masa magangku usai, psikolog paliatif pembimbingku memanggilku.

“Kau masih sedih dengan kepergian gadis kecil itu?” aku hanya bisa mengangguk lalu air mataku kembali jatuh.

“Kalau kau terus seperti ini, kusarankan kau memilih profesi lain untuk kau tekuni. Karena akan menyusahkanmu bila kau selalu menangis setiap kali pasienmu meninggal. Menjadi seorang paliatif harus kuat mental, karena kaulah yang seharusnya menghibur mereka, menenangkan keluarga yang ditinggalkan bila memang perlu. Kesedihanmu tidak sebanding dengan kesedihan orang-orang mengalami vonis dan jangan sampai kau memperlihatkan kesedihanmu didepan mereka. Sembunyikan emosi semampumu selagi kau berada di dekat mereka, setelah kau pulang, kau boleh menangis sepuasmu. Ini bukan pekerjaan mudah. Semua memang butuh proses, dan aku harap kau bisa memahaminya dengan baik.” sekali lagi aku hanya bisa menganggukkan kepala.

***

Pagi ini aku kembali menyusuri parkiran, berjalan menuju jalanan yang mengantarkanku pada ruangan seorang ayah tiga anak yang selama ini menjadi pasien langgananku. Ada yang berbeda hari itu, ketika sampai dibelokan kulihat si sulung diluar ruangan tempat ayahnya dirawat, wajahnya penuh air mata. Aku berlari kecil menghampirinya, pikiranku kalut penuh curiga.

“Kenapa?” tanyaku.

“Bapak, hiks...” dia terisak kemudian merangkulku. Kutepuk pundaknya dengan lembut, kutunggu sampai gadis berkerudung itu melepaskan pelukannya padaku sebelum aku masuk.

Diruangan bersekat itu aku langsung menuju tempat pasienku berbaring. Kulihat dia tersenyum ketika melihatku menghampirinya. Sang istri sedang duduk dikursi sebelah ranjang, melihatku ia mengusap air matanya yang terus mengalir hingga membuat wajahnya sembab.

“Assalamualaikum... Pak, Bu,” kuucapkan salam sambil mencium tangan kedua suami istri itu. “Kenapa pak? Bu? Ada apa?” tanyaku kemudian.

“Tidak apa-apa dek,” si pria kurus itu menjawab dengan senyuman.

“Si bapak ini lho dek, baru saja dokter bilang ke ibu kalau bapak harus cuci darah karena ginjalnya sudah tidak bagus lagi seperti dulu, tapi bapak malah menolaknya,” tutur istri menceritakan padaku alasan dibalik air matanya.

“Kenapa pak?” tanyaku sambil menatap wajah pria yang telah merelakan jempol kakinya untuk diamputasi ini.

“Tidak ada apa-apa dek, bapak hanya tidak ingin,” hanya itu jawaban yang keluar dari bibirnya. Berkali-kali kulontarkan pertanyaan kenapa, berkali-kali pula kudapatkan jawaban yang sama. Sampai siang itu, ketika istri sedang sholat di musholla dan si sulung ke kampusnya, pria itu dengan suaranya yang masih jelas meski lirih menjelaskan semuanya padaku.

“Bukannya bapak tidak mau sembuh dek, hanya saja bapak tidak rela kalau uang tabungan bapak akan dihabiskan untuk pengobatan bapak yang sudah jelas tidak tertolong ini,” ungkapnya padaku.

“Bapak tidak boleh seperti itu,” ucapku menanggapi kata-katanya. “Itu namanya mendahului kehendak pak,” imbuhku.

“Kita realistis saja dek, bapak juga tidak polos dalam hal beginian. Bapak sudah mencari tahu tentang diabetes sejak bapak tahu kalau bapak menderita penyakit ini. Kalau bapak diminta cuci darah, berarti ada masalah dengan ginjal bapak yang sepertinya sudah tidak bisa berfingsi lagi. Katakanlah ini komplikasi antara diabetes dan gagal ginjal. Dan yang bapak ketahui harapan hidup untuk penderita komplikasi sangat kecil,” tuturnya panjang lebar kepadaku.

“Tapi setidaknya kita ikhtiar pak, kita coba dulu. Siapa tahu ada mukjizat dari Allah,” kataku mencoba meyakinkan.

“Lalu misalnya ternyata sama saja? Bahkan setelah cuci darah? Alangkah lebih baiknya kalau uang yang sedikit itu untuk biaya pendidikan anak-anak seperti yang telah bapak niatkan sejak awal,” jadi itu alasan mengapa ia menolak cuci darah, semua untuk masa depan anak-anaknya. Rasanya ingin sekali aku pergi dari sini sebelum air mataku jatuh, sesak sekali rasanya dada ini.

Melihatku terdiam, ia berkata,”Dek, tolong jangan bilang istri dan anak-anak saya ya? Nanti saja kalau saya sudah tidak ada. Saya takut mereka akan memaksa untuk cuci darah bila tahu alasan kenapa saya menolaknya,” permintaannya terlalu besar buatku. Rasanya ingin aku bilang tidak agar ia bisa sembuh meski kutahu kecil kemungkinannya, tapi nyatanya kuanggukkan kepala meski mataku terasa panas.

“Kalau begitu saya pulang dulu ya pak, besok Insya Allah saya kesini lagi,” pamitku. Rasaya sudah tidak kuat lagi aku menahan kesedihan ini, sebelum aku bertemu si istri kuputuskan untuk segera menumpahkan air mataku tanpa sepengetahuan siapapun, kecuali diriku sendiri dan Allah Yang Maha Melihat.

***

Aku menghadiri pemakaman pasienku, ayah tiga anak. Kulihat isak tangis ada dimana-mana, hampir disetiap wajah pelayat. Kepergian pria ini hanya selang sehari dari hari wisudaku. Karena dekat denganku, sulung mengabarkan kepergian ayahnya dengan isak tangis yang tidak jelas diantara kata-katanya. Namun saat itu aku sudah mengerti maksudnya.

Butuh waktu lama bagiku untuk bekerja secara profesional, melatih emosiku untuk bisa memerankan peranku dengan baik. Menutupi rasa sedih, menyembunyikan isak tangis, lalu menyiapkan topeng ketabahan.

Hari ketiga setelah kematian, aku memberanikan diri berkunjung kerumah keluarga kecil yang telah kehilangan kepala keluarga itu. Kujelaskan semuanya, mengenai maksud sang ayah yang menolak cuci darah. Seperti dugaanku sebelumnya, mereka kembali menitikkan air mata, seolah tidak rela. Aku tidak bermaksud mengembalikan suasana sedih pada keluarga ini, hanya saja aku ingin mereka mengerti pengorbanan yang telah dibuat oleh sang ayah, agar mereka hati-hati dalam melangkah.

Tak mudah menjadi seorang psikolog paliatif, aku menyadari hal itu dengan baik. Akan ada banyak kisah dan hal-hal menyedihkan yang selalu menyelubungi dalam tiap tugas. Tugas-tugas itu tak melulu tentang menghibur pasien, tapi termasuk juga menyampaikan pesan yang belum sempat dan tak terucapkan oleh pasien kepada keluarganya.

Aku berharap, kelak bisa menjadi seorang psikolog paliatif yang bisa membantu para pasien menjalani sisa hidup mereka yang telah mendapat vonis dari dokter. Mungkin bukan pekerjaan yang banyak diimpikan orang karena kematian yang selalu hadir dalam setiap cerita. Tapi bahkan orang-orang sebelum mati, terkadang mereka tak tahu harus bagaimana menghadapi kematian itu sendiri.

Yes, actually I don’t have to, but really I want to.

NB: Bagi para pembaca yang menyukai tulisan saya monggo di like ya, karena tulisan ini saya ikutkan dalam sebuah lomba yang sekarang telah masuk ke 86 finalis dari 300 naskah.

Terima Kasih, Matur Suwun.. :D

Link:

http://www.facebook.com/notes/public-speaking-university/lmc_sembunyikan-emosi-kuatkan-diri-_riezky-vieramadhani-poetry/561666570519792

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun