Mohon tunggu...
Widya Saraswati
Widya Saraswati Mohon Tunggu... -

Berkarya sebagai dosen. Berupaya memberikan kontribusi bagi pengembangan (1)masyarakat Indonesia yang siap berkiprah di era globalisasi tanpa kehilangan jati diri, (2) hubungan yang harmonis dan serasi antara wanita dan pria.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Salam dan Saran untuk Adik-adik di ITB dan di Berbagai PT Lainnya

21 April 2014   00:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:25 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salam dan Saran untuk Adik-adik di ITB dan di Berbagai PT Lainnya

Sebelumnya, perkenankanlah saya menyampaikan salam untuk segenap Adik-adik mahasiswa di berbagai PT (perguruan tinggi) di Indonesia: Selamat belajar dengan tekun guna mengabdi kepada Nusa dan Bangsa. Tulisan ini ditujukan kepada Adik-adik semua. Namun, karena konteks permasalahan, saya tujukan khususnya kepada Adik-adik mahasiswa ITB, dengan harapan agar hikmahnya dapat dipetik oleh Adik-adik mahasiswa dari berbagai PT lainnya.

ITB adalah salah satu PT legendaris di Indonesia. Dari kawah Candradimuka ITB, lahir salah satu Bapa Bangsayang menjadi Presiden pertama RI, Bapak Ir. Sukarno. Berbagai alumni ITB berkibar di Indonesia dan manca negara. Dalam berbagai disiplin engineering, reputasi ITB sungguh menjulang.

Namun, belakangan, reputasi ITB sepertinya dipertaruhkan, yaitu, setelah terjadi demo penolakan sebagian mahasiswa, yang mengatasnamakan keluarga mahasiswa ITB, terhadap Bapak Jokowi, Gubernur DKI yang kebetulan salah satu capres. Sebelumnya, saya baca penolakan terhadap Bapak Prabowo, yang kebetulan juga capres. Lantang disampaikan alasan penolakan: ‘Netralitas kampus adalah harga mati.’ Nah, kalau ini alasannya, marilah ini kita jadikan premis dasar untuk membuka diskusi kita.

Institusi Publik dalam Sistem Demokrasi

Saya mulai dengan fakta bahwa ITB adalah PTN (perguruan tinggi negeri). Sebagai institusi publik, PTN didanai oleh negara. Bahkan, PTS (PT swasta) mendapatkan subsidi negara, sehingga sedikit banyaknya juga institusi publik. Dana dan subsidi berasal dari pajak, yang dibayar oleh warga negara, termasuk saya. Jadi, warga masyarakat adalah stake holders dan share holders terhadap ITB dan berbagai institusi publik lainnya, sehingga berhak mendapatkan perlakuan yang netral dan setara.

Memang, netralitas institusi publik dan kesetaraan merupakan pilar demokrasi. Dalam tatanan non-demokrasi (otoriter atau totaliter), institusi publik diarahkan mendukung hanya satu kekuatan politik. Coba simak Korea Utara: Seluruh institusi publik diarahkan mendukung Partai Pekerja Korea Utara.  Sebaliknya, dalam tatanan demokratis, institusi publik diarahkan untuk netral dan memfasilitasi semua kekuatan politik, secara adil dan setara. Di Indonesia, KPU memberlakukan aturan yang sama, misalnya terkait verifikasi partai atau kriteria lolos DPR.

Saya rasa Adik Jeffry Giranzah dan Adik-adik di ITB lainnya mengetahui kenapa tahun 1998 kita menegakkan tatanan baru. Ada berbagai alasan, namun, hemat saya, alasan yang mendasar adalah keinginan agar institusi publik menjadi netral. Sejak tahun 1966 sampai 1968, walaupun resminya ada tiga kekuatan politik, institusi publik diarahkan untuk hanya mendukung satu kekuatan politik, sementara yang lain tidak diperlakukan setara. Ibarat lomba mobil, pembalap salah satu tim boleh memakai mesin 6 silinder, sementara yang lain hanya boleh memakai mesin 2 silinder. Sebaik apa pun pembalap tim lain, ia akan kalah oleh pembalap tim yang diuntungkan.

Jadi, tahun 1998, kita, rakyat Indonesia, menunjukkan bahwa kita menginginkan tatanan demokratis, di mana institusi publik harus adil terhadap semua pihak. Badan mahasiswa di PTN merupakan bagian dari institusi publik, sehingga terikat pada ketentuan tatanan demokratis.

Komitmen: Perlu Konsistensi dan Disiplin

Kini, marilah kembali ke premis dasar yang Adik-adik sampaikan: “Netralitas kampus adalah harga mati.” Ini sebuah komitmen. Siapkah Adik-adik memegang komitmen tersebut? Tidak gampang bersikap konsisten terhadap komitmen. Saya berikan contoh sederhana. Salah satu prinsip yang saya anut adalah kemandirian. Sebagai implementasinya, saya berupaya menghindari hutang. Misalnya sejak SMA saya belajar mengemudi, namun saya tidak mau menggunakan kendaraan sebelum saya sendiri kuat membelinya. Teman-teman, sejak SMA sampai PT, sudah wira-wiri pakai motor atau mobil. Mereka sering menganggap saya ‘nyentrik’ lantaran terus jalan kaki, naik sepeda atau angkutan umum, padahal ada kendaraan di rumah. Saya baru memakai motor setelah saya (saat mahasiswa) nyambi bekerja selama beberapa tahun, menabung, dan akhirnya mampu membeli motor sendiri. Sekarang pun, setelah bekerja sekian lama, saya masih harus menahan keinginan untuk membeli mobil di Indonesia, lantaran harganya belum terjangkau, alias harus hutang, walaupun saat bertugas di luar negeri saya bisa membelinya (mobil tua di luar negeri murah harganya).

Mungkin Adik-adik bertanya apa saya tidak pernah tergiur. Tentu saja, saya juga penggemar motor dan mobil seperti warga lainnya. Setengah mati saya menahan diri untuk tidak memakai kendaraan saat di SMA, padahal kendaraan itu ada, sementara teman-teman naik gengsinya dengan kendaraan mereka. Sudah lama hati saya sering berdesir melihat para tetangga dengan bangga naik mobil bersama keluarga; apalagi jika anak-anak mulai bertanya, “Itu tetangga pada naik mobil, kapan giliran kita?” Namun, demi kesehatan budget keluarga, saya berusaha tetap disiplin: Selama tidak dapat membeli tanpa berhutang, saya tidak mau menggunakan mobil (bahkan  juga tidak mau meminjam). Sungguh, memegang teguh komitmen sangat sulit dan perlu kejujuran serta self-discipline yang amat tinggi.

Rekam Jejak dan Implikasinya

Sekarang kita kembali ke komitmen Adik-adik: “Netralitas kampus adalah harga mati.”  Cobalah kita simak rekam jejak penerimaan Adik-adik mahasiswa ITB terhadap berbagai tokoh di bawah ini (semoga catatan saya tidak keliru):

1. Adik-adik menerima deklarasi pencapresan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono di gedung Sabuga

2.   Adik-adik menerim kuliah umum Bapak Ahmad Heryawan, saat beliau maju dalam pencalonan gubernur Jawa Barat

3.   Adik-adik menerima kedatangan Bapak Aburizal Bakrie, salah satu capres

4.   Adik-adik menolak kedatangan Bapak Prabowo Subianto, salah satu capres

5.   Adik-adik menolak kedatangan Bapak Joko Widodo, salah satu capres

6.   Adik-adik akan mengundang, di antaranya, Bapak Anis Matta, Bapak Hatta Rajasa, Bapak Machfud MD, yang notabene capres di partainya masing-masing. Tidak tanggung-tanggung. Beliau-beliau ini dijadwalkan memberikan orasi tentang kepemimpinan, yang dalam konteks Pilpres mendatang, suka atau tidak, berkonotasi kampanye.

Sekarang coba Adik-adik sedikit menjauh dan menerawang dari sudut pandang masyarakat umum. Apakah rekam jejak seperti di atas mencerminkan posisi “Netralitas kampus harga mati?” Jujur saja, kesannya pilih-pilih tebu, atau zig-zag: belok sini (diterima) kalau tokohnya dari kalangan tertentu, dan belok sana (tidak diterima) kalau tokohnya dari kalangan lain. Implikasinya sungguh tidak sepele. Dengan begini, ITB, sebagai institusi publik, diarahkan menjadi tidak netral, melainkan partisan: memfasilitasi kelompok tertentu sembari menafikan kelompok lainnya. Artinya, secara prinsip terjadi penggiringan kembali ke situasi sebelum 1998, walaupun kini kelompok yang diuntungkan bisa berbeda.

Netralitas Institusi Publik: Semoga Jujur dan Konsisten

Hemat saya, prinsip netralitas yang sejati  hanya memiliki dua opsi : Netral-steril, yaitu, tolak satu tolak semua (mirip netralitas gaya Swiss), atau netral-aktif, yakni, fasilitasi satu fasilitasi semua (mirip politik LN bebas aktif). Tidak bisa zig-zag. Oleh karenanya, semoga dapat direnungkan, agar ke depan Adik-adik dapat lebih saksama bertindak, karena  yang dipertaruhkan bukan sekedar menerima atau menolak tokoh, melainkan esensi demokrasi itu sendiri.

Saya masih percaya bahwa Adik-adik memiliki idealisme murni, yang tidak terkooptasi oleh kepentingan tertentu. Saya percaya bahwa Adik-adik menjunjung tinggi sistem demokrasi. Saya percaya tidak ada niatan Adik-adik untuk membalikkan situasi di kampus, khususnya ITB, ke arah suasana pra 1998.

Namun, seandainya saya keliru, seandainya memang ada yang bertujuan, secara tersamar atau tersinar, untuk membelokkan institusi publik guna kepentingan kelompok tertentu, maka, demi penegakan azas demokrasi, saya rasa segenap komponen bangsa wajib mencegahnya, bukan saja dalam konteks ITB, melainkan bagi seluruh PT, dan bahkan seluruh institusi publik di negeri ini. Akan sia-sia perjuangan 1998, kalau kini institusi publik diarahkan kembali untuk hanya memfasilitasi kelompok tertentu. Bahkan keledai tidak terantuk batu yang sama untuk kedua kalinya.

Kepada Adik-adik mahasiswa dari berbagai PT yang memegang teguh komitmen netralitas, baik versi netral-steril maupun netral-aktif, saya sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga saja komitmen itu dapat terus teguh dipegang. Sebab, jika generasi muda tidak lagi dapat diandalkan, apatah jadinya nasib negeri di masa depan?

Akhir kata, kepada Adik-adik mahasiswa sekali lagi saya ucapkan: Selamat belajar dan berkarya demi Nusa dan Bangsa. Tunjukkan bahwa tidak percuma Anda sekalian menyandang gelar Harapan Bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun