Pesan kepada Para Capres: Mohon Hati-hati terhadap Isu Anti Barat
Salah satu isu yang sering terlontar dalam Pemilu kali ini adalah kemandirian bangsa, yang oleh sebagian kalangan diterjemahkan sebagai anti Barat, khususnya anti Amerika. Sempat ada yang menganggap bahwa pertemuan dengan sejumlah dubes asing, yang dari data yang ada dilakukan oleh kedua Capres, sebagai ‘menyerahkan leher.’
Kiranya perlu disadari bahwa sikap anti Barat seyogyanya bukan sikap ‘apriori,’ atau asal menolak segalanya dari Barat. Ada nilai-nilai dari Barat yang positif, seperti sistem demokrasi, kesetaraan, dan pluralisme, yang  justru perlu diadopsi. Sementara yang perlu ditolak adalah nilai-nilai negatif, seperti neokapitalisme global, yang mangakibatkan kemiskinan massal dan perusakan lingkungan. Kalau kita cermati, mereka yang bersikap asal menolak terhadap Barat sering lebih bermotif menolak nilai positif, seperti demokrasi, kesetaraan, dan pluralisme, ketimbang menolak nilai negatif, seperti neo-kapitalimse. Dengan kata lain, mereka sebenarnya tidak terlalu peduli dengan masalah kesejahteraan. Mereka sepertinya lebih bermotif menolak demokrasi dan pluralisme, karena berkepentingan menegakkan sistem non-demokrasi, di mana mereka akan menjadi kelompok yang dipertuan, berkuasa mengatur jalannya pemerintahan.
Jadi perlu benar-benar dikritisi, apakah kemandirian itu identik dengan anti Barat, khususnya anti Amerika? Terlebih lagi implikasinya perlu direnungkan, karena jika sikap anti tersebut manjadi tajam, bisa-bisa berujung pada konflik fisik dengan negara-negara Barat. Untuk itu, mungkin ada baiknya kita cermati riwayat sejumlah pemimpin negara yang berposisi terhadap Barat. Ada beberapa yang dapat kita simak, misalnya, Presiden Saddam Hussein dari Irak, Presiden Ghadaffi dari Lybia, Presiden Fidel Castro dari Cuba, Presiden Hugo Chavez dari Venezuela, Presiden Bashir Ashad dari Suriah, mantan Presiden Ahmadinejad dari Iran, Presiden Boumedienne dari Aljazair, dan Presiden Yulius Nyerere dari Tanzania. Di antara mereka ini, Presiden Boumedienne dan Yulius Nyerere termasuk dalam kategori ‘low profile.’ Sisanya termasuk dalam kategori lantang terhadap terhadap Barat, sehingga hubungan mereka dengan negara-negara Barat sering tegang dan beberapa di antaranya akhirnya terlibat perang dengan negara-negara Barat.
Lantaran keterbatasan ruang, kita amati dua saja, yaitu alm. Presiden Hugo Chaves dari Venezuela dan alm. Presiden Ghadaffi dari Libya. Keduanya termasuk tokoh nasionalis: menasionalisasi perusahaan minyak demi kemakmuran rakyat. Sekedar gambaran, di Libya dulu, kabarnya sekolah, air bersih, dan layanan kesehatan gratis, pangan murah, sementara pasangan yang baru menikah mendapatkan uang tunai untuk modal awal beli rumah atau mobil. Venezuela juga menggunakan kekayaan dari minyak untuk membuat program-program pro rakyat. Susahnya, gara-gara nasionalisasi tersebut keduanya terlibat konflik dengan negara-negara Barat, namun dengan hasil bertolak belakang.
Presiden Hugo Chavez: Bertahan
Presiden Hugo Chavez selamat dari tekanan negara-negara Barat, lantaran tiga faktor berikut:
1. Ada dukungan super power
Venezuela membina hubungan khusus dengan Rusia. Selain membantu pasokan senjata kepada Venezuela, Rusia juga beberapa kali mengirim armada laut dan udara. Pesannya jelas: Jika sampai AS menyerang Venezuela, Rusia akan turun tangan.
2. Â Ada dukungan regional
Negara-negara Amerika Latin yang tergabung dalam OAS (Organization of American States) tegas menolak kemungkinan serangan terhadap Venezuela. Bahkan Spanyol, yang anggota NATO, ikut menolak kemungkinan serangan tersebut.
3. Â Ada dukungan domestik
Mayoritas penduduk Venezuela kompak mendukung Presiden Chavez. Sebagian yang menentang beliau, tidak sampai mendirikan kelompok pemberontak, melainkan cukup bergabung dengan partai oposisi.
Kombinasi ketiga dukungan tersebut membuat negara-negara Barat tidak berani menyerang Venezuela. Karena faktor-faktor yang sama, negara-negara Barat juga tidak berani menyerang Cuba, Iran dan Suriah. Sebaliknya, inilah yang terjadi dengan Presiden Ghadaffi.
Presiden Ghadaffi: Terjungkal dan teraniaya
Walaupun Presiden Ghadaffi tidak pernah menyatakan perang dengan negara-negara Barat, tetap saja Lybia diserbu. Presiden Ghadaffi akhirnya tumbang karena ke tiga faktor berikut:
1. Tidak ada dukungan super power
Lybia merupakan negara bebas aktif, tidak menjalin hubungan khusus dengan salah satu super power. Akibatnya, saat negara-negara Barat menyerang, Rusia ataupun Cina tidak membantu.
2. Â Tidak ada dukungan regional
Saat terjadi serangan negara-negara Barat terhadap Lybia, Liga Arab, kawasan tempat Lybia bernaung, justru mendukung serangan tersebut.
3. Â Ada kekuatan dalam negeri ikut menyerang
Dalam invasi Barat, ada kelompok dalam negeri Libya ikut menyerang. Kelompok ini dapat disebut kelompok pro Al Qaeda (KPAQ), lantaran ideologinya mirip Al Qaeda serta banyak petarung mereka terlibat dalam berbagai perang yang dilakukan oleh Al Qaeda.
Karena tiga faktor inilah akhirnya Presiden Ghadaffi tumbang. Bahkan, bukan sekedar tumbang, nasib beliau berakhir amat mengenaskan: disodomi dengan bayonet, dieksekusi tanpa pengadilan dan jazad beliau disimpan dalam kulkas. (Sekedar info: Pelakunya bukan pasukan Barat). Lantaran faktor yang sama, Presiden Saddah Hussein juga tumbang lantaran diserang negara-negara Barat.
Yang perlu dicermati di sini adalah bahwa KPAQ di belahan bumi lain (misalnya Yaman dan Afganistan) memang gencar berperang lawan Amerika, sementara para simpatisannya juga suka mengajak orang-orang lain untuk ikut anti Amerika. Namun, KPAQ ternyata tidak segan-segan bekerjasama dengan negara-negara Barat, jika perlu bahkan dengan menggulingkan pemimpin yang sebenarnya nasionalis dan mandiri, seperti alm. Presiden Ghadaffi.
Ternyata motif KPAQ sederhana, yaitu politik transaksional, atau ‘wani piro.’ KPAQ Libya menggalang kerjasama dengan Barat dengan imbalan bagi-bagi wilayah. Usai penggulingan Presiden Ghadaffi, kelompok pro Barat menguasai bagian barat Libya, sementara KPAQ mendapat jatah menguasai bagian timur Libya, yang kebetulan kaya minyak. Sekarang tiada lagi cerita pangan murah, sekolah dan layanan kesehatan gratis, atau uang tunai kepada pasangan yang baru menikah.
Skenario yang sama kelihatannya akan dipraktekkan di Suriah. Di negeri tersebut, KPAQ (kelompok pro Al Qaeda) bekerjasama dengan kelompok-kelompok pro Barat untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Bashir Assad. Untung bagi Presiden Assad, sekalipun Liga Arab mendukung kelompok anti pemerintah, Rusia dan Iran kompak mendukung Presiden Assad. Akibatnya, negara-negara Barat, sekalipun mengirim pasokan senjata dan dana kepada kelompok anti pemerintah, namun ragu langsung menyerang Syria.
Marilah kita kembali ke Indnesia. Misalnya ada pemimpin Indonesia, yang karena begitu disemangati untuk anti Barat, akhirnya terjebak dalam konflik fisik dengan negara-negara Barat. Coba kita hitung kemungkinan posisi Indonesia:
1. Â Dukungan super power?
Dari dulu Indonesia bersikap bebas aktif, tidak membina hubungan khusus dengan super power terentu. Maka, kalau ada konflik dengan negara-negara Barat, besar kemungkinannya Rusia maupun Cina tidak akan membantu.
2. Â Dukungan regional?
Kebanyakan negara ASEAN berafiliasi dengan negara Barat. Singapura dan Malaysia menjalin kerjasama pertahanan dengan Inggris, Australia dan New Zealand. Thailand dan Filipina menjalin kerjasama pertahanan dengan AS. Vietnam dulu berperang dengan AS, namun kini terlibat sengketa wilayah dengan RRC, sehingga kabarnya diam-diam menjalin kerjasama dengan AS. Maka, jika terjadi konflik dengan Barat, besar kemungkinannya negara-negara kawasan ASEAN juga tidak akan membantu.
3. Â Dukungan dalam negeri?
Kalau sampai terjadi konflik dengan AS, kira-kira bagaimana sikap para tokoh atau kelompok yang kini giat menggelorakan sikap anti Barat:Â Apakah mereka akan seperti warga Venezuela, yang kompak berdiri di belakang Presiden Hugo Chavez, atau seperti KPAQ di Libya, yang justru bersekutu dengan negara-negara Barat, asalkan ada wani piro?
Mungkin kita tidak perlu menerawang ke negara lain. Kita pernah memiliki Presiden yang mengumandangkan semangat berdikari dan lantang menyuarakan oposisi terhadap negara-negara Barat. Dan Anda sudah tahu sejarah beliau: Menjadi tahanan rumah (walaupun tidak resmi) sampai akhir hayat.
Bahkan tidak usah jauh-jauh ke belakang. Tengok saja era Presiden Megawati Sukarnoputri. Waktu itu Indonesia kena embargo senjata, sehingga TNI-AU tidak dapat menerbangkan pesawa-pesawat jet tempur, lantaran embargo suku cadang dari AS. Presiden Megawati berinisifatif mendatangkan pesawat tempur Sukhoi dari Rusia. Tujuannya selain mendapatkan alternatif pasokan senjata juga mengirim pesan agar embargo tidak berlarut-larut. Coba tengok rekam jejak para pemimpin atau politisi yang kini suka mendengungkan semboyan anti Barat: Apakah dalam sidang-sidang DPR atau MPR mereka mendukung langkah tersebut atau justru mempermasalahkannya? Silahkan bertanya kepada Ibu Rini Soemarmo, yang pusing menangani masalah tersebut.
Jadi, kepada para Capres, jika ada yang mendorong-dorong untuk bersikap anti Barat, mohon untuk bersikap arif bijaksana. Mohon direnungkan, jika sikap anti Barat menjadi terlalu tajam sehingga terjadi konflik dengan Barat, kira-kira situasinya akan lebih mirip Venezuela atau Libya? Jika sampai terjadi konflik dengan Barat, kira-kira bagaimanakah sikap berbagai tokoh dan kelompok yang kini giat mendorong-dorong sikap anti Barat? Apakah mereka bakal kompak mendukung seperti rakyat Venezuela, atau akan balik badan seperti KPAQ, lantaran kepentingan ‘wani piro?’
Hemat saya, mungkin itulah yang secara tersirat ingin disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat beliau memberikan peringatan mengenai risiko nasionalisasi aset.
Mengedepankan sikap mandiri dalam segala bidang adalah suatu niat yang mulia, namun tidak perlu sampai terjebak pada sikap konfrontatif. Ada negara-negara yang berhasil menerapkan sikap mandiri, namun bisa menghindari konfrontasi dengan negara-negara Barat. Contohnya Aljazair dan Tanzania. Hemat saya, ada baiknya langkah kedua negara ini dicermati dan dijadikan acuan.
Kiranya demikianlah saran saya kepada para Capres dan para tim sukses. Jika sekiranya berkenan, saya ucapkan terima kasih. Jika tidak berkenan, mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H