Oleh: Widya Saraswati
Â
Saat ini gerakan emansipasi merambah berbagai belahan dunia. Sebagian kawasan, utamanya Eropa dan Amerika Utara, sudah amat maju dalam meraih persamaan hak perempuan. Misalnya, di kawasn Nordic, seperti Swedia dan Denmark, representasi perempuan di parlemen sudah melampaui ambang 30%. Kawasan lain masih beragam, antara yang masih amat ketinggalan, seperti kawasan negara Teluk dan sebagian Afrika, sampai cukup memuaskan, seperti kawasan Asia Timur dan Tenggara.
Menilik situasi di atas, secara teoretis kawasan yang sudah maju dibutuhkan sebagai panutan. Masalahnya, kini mulai terlihat ekses hiper emansipasi. Misalnya,  di Amerika Utara, berlaku aturan perceraian yang sepintas netral, namun dalam praktek  cenderung bias terhadap suami. Jika terjadi perceraian, tidak peduli siapa yang salah, suami harus angkat kaki dari rumah (sekalipun milik sendiri), harus memberikan tunjangan isteri (sekalipun isteri bekerja dengan gaji lebih besar) dan tunjangan anak sampai anak selesai kuliah.
Namun, suami tidak mendapat hak asuh; bahkan  sering sulit menjenguk anaknya sendiri. Jika suami menikah kembali, isteri baru sering harus ikut memberikan tunjangan kepada mantan isteri. Ada lagi gaya hidup femdom (female domination) di mana isteri bagaikan ratu dan suami bagaikan pelayan. Sekalipun sama-sama mencari nafkah, sampai di rumah suami harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sementara isteri bebas menonton TV. Situasinya persis model rumah tangga patriarki, namun kini suamilah yang berada dalam posisi lebih rendah. Hopo tumon?
Situasi di atas tentu berlawanan dengan cita-cita emansipasi yang sejati, dan sudah tentu tidak sejalan dengan cita-cita R.A. Kartini dan para tokoh gerakan perempuan lain di Indonesia. Selain itu, para aktivis perempuan di dunia ketiga, yang menginginkan emansipasi yang hakiki, bisa menjadi ragu untuk melanjutkan upaya pemberdayaan.
Tak kurang dari tokoh feminis Camile Paglia, yang mengecam peminggiran terhadap lelaki. Lebih penting lagi, kelompok anti persamaan hak bisa menggunakan situasi di atas sebagai dalih untuk membendung upaya persamaan hak lebih jauh. Oleh karenanya, bagi kawasan di luar Amerika Utara dan Eropa, termasuk Indonesia, perlu dipikirkan dan dipilah-pilah, mana saja aspek emansipasi yang dapat dicontoh dan aspek mana yang perlu dihindari. Marilah kita lanjutkan gerakan emansipasi yang membumi, yang sesuai dengan kepribadian kita sendiri.
*) Widya Saraswati, aktivis perempuan, mengajar di salah satu perguruan tinggi di Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H