Mohon tunggu...
Raditya Yudha Widyanta
Raditya Yudha Widyanta Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya donkey

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kosong

8 Juni 2011   04:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:45 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah sekolah memiliki tradisi untuk minum teh bersama setelah jam pelajaran usai. Pada saat minum teh bersama itu, ada seorang murid yang terlihat murung. Murid ini adalah seorang murid di kelas senior. Seorang guru kemudian mendatangi murid itu. Sang Guru bertanya, "Nak, mengapa engkau terlihat sedih? Adakah hal yang merisaukan hatimu?" Murid itu kemudian menjawab, "Ya, Guru. Memang ada hal yang merisaukan hatiku." Sang Guru kemudian berkata, "Maukah kau berbagi denganku, Nak? Barang kali saja aku dapat membantumu." Murid pun kembali menjawab, "Terima kasih, Guru. Sebenarnya murid khawatir dengan hasil belajar murid, Guru. Pasalnya akhir-akhir ini murid merasa tidak memahami materi-materi yang diberikan para guru di kelas." "Termasuk materi yang aku berikan?" tanya Sang Guru. Dengan merasa bersalah murid itu menjawab, "Ya, Guru. Termasuk materi yang Guru berikan." Mendengar hal itu Sang Guru tersenyum. Kemudian Sang Guru mengambil teko teh dan hendak menuangkan teh ke dalam cangkir gelas muridnya. Sontak si murid menahan teko teh yang dipegang oleh gurunya dan bertanya, "Guru, apa yang Guru lakukan?" Sang Guru kembali tersenyum kemudian berkata, "Bukankah kita sedang minum teh? Biar ku tuangkan teh ini ke dalam cangkirmu." Dengan penuh rasa heran si murid menjawab, "Benar, Guru. Kita memang sedang minum teh bersama. Tapi cangkir saya masih penuh." "Tepat. Demikian juga dengan belajar. Bagaimana mungkin kamu dapat menerima materi jika 'cangkir'mu sudah penuh? Kosongkan dulu cangkirmu, lalu kau pasti mampu menerima pelajaran dengan baik." Mendengar penjelasan gurunya si murid tertegun dan merenungkan kata-kata gurunya.

Keesokan harinya di waktu yang sama si murid menghadap Sang Guru. Si murid berkata, "Guru, semalamam-malaman murid memikirkan kata-kata Guru kemarin. Ada satu hal lagi yang ingin murid tanyakan." "Katakan, Nak," perintah Sang Guru. "Bagaimana mungkin murid membuang air? Murid merasa air yang murid miliki adalah air yang jernih dan air yang diberikan pada murid adalah air yang kotor." Mendengar hal itu Sang Guru tertawa. Si murid keheranan dan bertanya, "Guru, mengapa Guru tertawa? Guru tidak marah? Atau tidak menganggap murid terlalu jumawa?" Setelah tawanya reda Sang Guru lalu menjawab, "Tidak, Nak. Tidak. Aku tidak marah. Aku juga tidak menganggapmu terlalu jumawa. Setiap murid harus menilai situasi yang mereka hadapi. Dan kau melakukannya. Aku senang kau melakukannya. Jika demikian, rasanya kau tidak perlu membuang airmu." "Lalu apa yang perlu murid lakukan?" Sejenak Sang Guru berpikir dan kemudian berkata kepada muridnya, "Aku dan kau dan siapapun di dunia ini perlu rela hati untuk menuangkan airnya ke dalam tempat lain dan menerima air dari orang lain. Setelah itu kita dapat membandingkan kedua air itu dengan jujur. Lalu kita dapat memutuskan air mana yang akan kita pakai."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun