[Sumber gambar : yusufmansur.com]Pondok pesantren di Indonesia mulai tersebar dimana-mana. Di Jawa disebut pesantren. Di Sumatera disebut surau. Dan di Semenanjung Malaysia juga dikenal dengan istilah pondok. Dalam perkembangannya, pondok pesantren dimaknai sebagai lembaga pendidikan tradisional umat Islam, untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam. Semuanya itu itu memberikan penekanan pada keseimbangan antara aspek keilmuan dan perilaku.
Aspek keilmuan dan perilaku harus seimbang. Karena itulah, pesantren menggembleng santrinya, agar antara ilmu yang dipelajari di pesantren dan perilakunya bisa seimbang. Belum tentu setiap individu memiliki rasa keberagamaan. Bagaimana untuk bisa mendapatkan rasa religiusitas ini? Menurut Nurcholis Madjid, hal ini bisa didapat dengan melakukan pengkajian terhadap tasawuf dan pembentukan lingkungan yang representative, bagi pengembangan potensi rasa keberagamaan. Melalui pengkajian dan penghayatan terhadap dimensi spiritualitas inilah, harapannya bisa melahirkan generasi yang peka terhadap aspek moralitas.
Sebenarnya, para kyai-kyai dulu selalu mempraktekkan hal ini, ketika mengajarkan ilmu agama kepada para santrinya. Pola yang tidak dibatasi pada kurikulum, tempat belajar mengajar yang bisa dimana saja, belajar membaur dengan masyarakat. Inilah prinsip ta’lim wa ta’allum pesantren, yaitu pendidikan seumur hidup. Artinya, setelah lulus dari pesantren pun, alumninya tetap harus bisa belajar di masyarakat, menerapkan segala hal yang didapat ketika di pesantren.
Saat ini, ada oknum santri yang memilih mempelajari paham-paham radikal. Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pun mengendus ada 19 pesantren radikal di Indonesia. Pesantren radikal yang melahirkan santri radikal inilah, yang tida sesuai dengan prinsip yang dibahas diatas. Antara keilmuan yang didapat dengan perilakunya tidak seimbang. Terlebih, jika perilaku itu dibumbui dengan kebencian. Yang lahir akhirnya hanyalah tindakan teror, yang meresahkan masyarakat, yang melanggar hukum, dan lebih dari itu, melanggar ajaran agama.
Hampir setiap pesantren, mewajibkan santrinya untuk mempelajari kitab kuning, dan belajar organisasi keagamaan. Bahkan, para santri juga dituntut melakukan tirakat batin, untuk menyempurnakan ilmu yang diterima. Praktek semacam ini penting untuk mendekatkan diri pada Allah. Inilah yang juga bisa disebut pendidikan hati. Seorang santri, harus mempunyai hati yang baik. Jika seseorang mempunyai hati yang baik, maka prilakunya pun juga akan menjadi baik.
Karena itulah, para santri juga diajarkan mengenai nilai-nilai akhlak dalam beberapa kitab. Gunanya untuk apa? Agar para santri bisa memahami ajaran Islam tidak hanya dari sisi lahiriah, tapi akhlak tersebut juga menyatu kedalam kepribadian. Menjadi hal yang integrated. Harapannya, lulusan pesantren bisa mempunyai kepribadian yang baik, berkepribadian luhur, sesuai nilai-nilai Islam yang diajarkan dalam kitab-kitab.
Bagaimana jika ada santri, atau alumni pesantren yang melakukan tindakan radikal? Bisa jadi ada yang salah ketika menjalani pendidikan di pesantren. Entah pimpinannya yang salah, atau kurikulumnya yang salah, atau pemahamannya yang salah. Jika santri berperilaku radikal, sama halnya mereka tahu agama tanpa rasa keagamaan, tahu ilmu pengetahuan tanpa sikap keilmuan, atau santri tanpa mental kesantrian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H