Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Waspadai Transformasi Ormas Terlarang Pengaruhi Gen Z

15 November 2024   16:31 Diperbarui: 15 November 2024   16:56 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dibentuk dan dibangun dengan keberagaman yang kompleks. Pada saat proklamasi dilakukan, tidak mudah untuk menyatukan prespektif sebagai bangsa besar dan bergam; dari Sabang sampai Merauke.

Namun founding fathers kita sangat hebat bisa membuat konsep spektakuler bernama Pancasila dimana dia sebagai dasar dengan visi jauh di depan. Memayungi keberagaman budaya dan keyakinan, adat, nilai-nilai moral dan lain sebagainya. Ibarat kata, pada Pancasila bisa ditemukan nilai-nilai bangsa kita yang bisa kita banggakan kepada bangsa lain.

Seiring waktu, Indonesia juga punya Undang-undang yang mendorong kehidupan toleran, menjamin hak-hak kemerdekaan beragama, melarang perkataan kebencian, sampai UU untuk menangani terorisme; Bahkan kita punya dua instrumen yang menangani radikalisme dan terorisme yaitu Densus 88 untuk penindakan dan BNPT untuk pencegahan.  Seserius itu, negara kita menangani soal intoleransi dan terorisme.

Hanya sayang, ada beberapa celah untuk mengacaukan hal diatas. Setidaknya ada dua perundang-undangan yang mempengaruhi meningkatnya intoleransi, radikalisme dan terorisme yaitu PNPS 1965 yaitu tentang penodaan agama dan peraturan dua menteri tentang pendirian rumah ibadah. Dua aturan ini yang sering dipakai oleh kelompok-kelompok intoleran untuk melakukan aksi-aksi penyesatan, penolakan pembangunan rumah ibadah umat lain, sampai penindasan terhadp kelompok minoritas.

Belum lagi Peraturan Daerah yang kerap memprioritaskan mayoritas dibanding minoritas. Di satu provinsi di Sumatera misalnya,  mengharuskan semua siswi berjilbab meski dia non muslim. Beberapa sekolah negeri, terbanyak di Jakarta dan Jawa Barat misalnya membuat pembeda anak tangga, antara pria dan wanita. Beberapa gurupun terlihat punya pandangan tertentu soal agama dan kemudian mentransfer itu ke otak para siswa.

Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa beberapa organisasi massa seperti HTI dan FPI yang dibubarkan oleh pemerintah beberapa tahun lalu, bertransformasi menjadi organisasi lain yang sebenarnya satu mahzab. Mereka bertransformsi dan mulai mempengaruhi generasi Z yang tidak punya landasan agama yang kuat. Pengaruh ini dikemas dalam budaya populer yang koheren dengan anak muda sekarang. Dan bisa kita lihat, acara mereka di TMII, sehari setelah Pilpres berlangsung meriah dan didatangi oleh banyak generasi muda.

Inilah tantangan kita saat ini, yaitu menahan bahkan harus menolak infiltrasi ormas seperti HTI dan FPI ke generasi muda kita. Kita jangan mudah diberdaya dengan kemasan-kemasan populer ala ala  Genzi. Hal ini perlu kita lakukan demi mewujudkan Indonesia emas 2045 yad.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun